BALI: PEWARIS BUDAYA NUSANTARA
Anand Krishna*
Radar Bali, Senin 19 Mei 2008
Catatan: tulisan berikut adalah versi asli tulisan Bapak Anand Krishna.
Teks dengan warna biru tidak dimuat dalam artikel di harian Radar Bali.
Apakah Nilai-Nilai Keagamaan atau Kebudayaan itu?
Sekarang, di Bali kita mengenal istilah Tri Hita Karana. Barangkali istilah ini belum lama menjadi populer. Namun, adalah praktik Tri Hita Karana itu yang sudah menjadi populer sejak zaman dahulu. Dan, bukan saja di Bali – tetapi di seluruh kepulauan Nusantara, atau yang sebelumnya juga disebut Dvipantara – Kepulauan diantara Anak Benua Jambu Dvipa yang sekarang disebut India, dan Astraalaya yang sekarang disebut Australia.
Peradaban kita adalah satu-satunya peradaban di seluruh dunia yang sejak dahulu hingga sekarang masih tetap berkesinambungan. Peradaban ini tidak pernah mati. Peradaban ini disebut Peradaban Sindhu atau Indus Valley Civilization. Pengaruhnya dari Aryan atau apa yang sekarang disebut Iran hingga Astraalaya, Australia.
Saya tidak mengatakan bahwa peradaban kita adalah yang tertua. Tidak. Karena, Peradaban Mesir dan Cina pun sama tuanya. Tetapi, peradaban tersebut tidak berkesinambungan. Peradaban Mesir Kuno tinggal sejarah. Peradaban Kuno Cina diobrak-abrik oleh Mao Tse Tung dan rejim komunis. Hingga saat ini pun, para pelaku budaya dan praktisi ajaran kuno seperti kelompok Falun Gong dan lain-lain dilarang, malah ditahan dan disiksa.
Peradaban kita bukanlah peradaban tertua, tetapi satu-satunya peradaban tua yang masih eksis, masih berdenyut – masih berkesinambungan,,,,,,
Peradaban ini oleh Pelancong dari Cina disebut Shintu. Para pedagang dari Timur Tengah menyebutnya Hindu. Para sudagar dari Barat menyebutnya Indus, Indies, Indische, India – kemudian menjadi Hindia, India, Indo.
Adat-istiadat atau kebiasaan-kebiasaan yang kemudian menjelma menjadi Budaya Perekat bagi seluruh wilayah ini jauh lebih tua dari pada agama mana pun di dunia. Agama-agama lahir atau setidaknya selalu bersentuhan dengan Budaya Luhur ini. Budaya Luhur inilah Peradaban Sindhu, dan inilah Budaya Nusantara.
Sebelum India meraih kemerdekaan dari Inggeris, istilah India itu masih dipakai secara umum bagi seluruh wilayah Peradaban Sindhu. Maka, kita mengenal istilah-istilah British East Indies, Dutch Indies, West Indies dan lain sebagainya.
Sesungguhnya, peradaban kita tidak terbatas oleh batas-batas wilayah negara. Pun, kita tidak pernah mengimpor peradaban asing atau budaya asing atau kebiasaan-kebiasaan asing, sebagaimana terjadi dalam kurun waktu 5-6 abad terakhir. Apa yang sekarang disebut Agama Hindu pun tidak pernah diimpor dari wilayah yang saat ini disebut India. Kita memang memiliki budaya yang sama, karena berada dalam wilayah peradaban yang sama. Dan, peradaban inilah yang mengajar kita untuk ber-trihitakarana…..
Tri berarti Tiga. Hita berarti Kebaikan. Dan Karana berarti Sebab. Tri Hita Karana dalah Tiga Sebab yang Berakibat Baik.
Dasar dari Tri Hita Karana adalah Hukum Sebab-Akibat atau Hukum Karma, oleh ilmuwan modern disebut Hukum Aksi-Reaksi.
Tri Hita Karana mengajak kita untuk “Berbuat Baik” supaya memperoleh Hasil atau Akibat yang Baik.
Apa pula tiga kebaikan yang mesti diupayakan oleh setiap manusia?
Pertama: Menjaga Hubungan dengan Tuhan yang tidaklah bersemayam di lapisan langit ke berapa, tetapi bersemayam di dalam hati manusia sendiri.
Maka, dengan sendirinya, perbuatan baik Kedua yang mesti diupayakan adalah: Menjaga Hubungan dengan Sesama. Saya mesti menjalin hubungan baik dengan kamu, bukan karena kamu seumat, seiman atau se-apa, tetapi karena Tuhan juga bersemayam di dalam dirimu.
Maka, ketika kita menyalami orang lain, kepala ditundukkan sedikit dan kedua tangan dirangkap: Aku Menyembah Dia yang Bersemayam di dalam Dirimu. Kita memiliki kebiasaan sungkam kepada orang tua, kepada para guru, kepada siapa saja yang dipertuakan karena ilmu atau kedudukannya. Ini adalah wujud nyata dari Praktik Karana Kedua dari Tri Hita Karana.
Kemudian, Ketiga adalah Menjaga Hubungan dengan Alam, dengan Lingkungan, dengan Sesama makhluk walau wujud mereka beda – Hubungan dengan Semesta!
Maka, tidak heran bila kita yang tinggal di kepulauan ini menghormati pepohonan, menghormati bukit dan gunung, menghormati kawah dan lembah, menghormati sungai dan laut, bahkan bebatuan pun kita hormati. Perkara ini tentu tidak dipahami oleh mereka yang datang dari peradaban yang beda.
Sayangnya, saat ini kita sebagai bangsa sudah terlalu banyak terpengaruh oleh peradaban-peradaban lain, oleh budaya-budaya lain. Bahkan, dengan menggunakan referensi budaya dan peradaban lain, kita menganggap sesat seluruh kebiasaan atau adat istiadat luhur yang sesungguhnya telah membudaya dalam masyarakat kita.
Sebagai contoh, Kebudayaan Kaharingan dari Kalimantan dianggap sesaat. Baduy di Banten pun sebentar lagi bisa dinyatakan sesat. Kemudian, Sunda Wiwitan dan Kejawen tinggal tunggu waktu saja. Bisu di Sulawesi sudah dinyatakan sesat sejak puluhan tahun yang silam.
Coba bandingkan budaya-budaya yang dinyatakan sesat dan tidak sesuai dengan apa yang kita anggap sebagai agama – dengan Budaya Bali…….
Bila Kaharingan dianggap sesaat, maka Budaya Bali jelas bisa dianggap sesat pula. Sesungguhnya, walau belum ada pernyataan resmi tentang betapa lebih sesatnya Bali dari Kaharingan dan Wiwitan dan Kejawen dan Bisu – Kebudayaan Bali sudah menerima ancaman-ancaman dan serangan-serangan serius yang mesti direspons, tentunya dengan cara yang beradab, cara yang sesuai dengan budaya kita.
* Penulis adalah Aktivis Spiritual