Bali on Sale, 28 April 2008

Bali on Sale

Anand Krishna*
Radar Bali, Senin 28 April 2008


Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan seorang teman dari salah satu negara yang menjadi bagian dari Uni-Eropa. Ungkapan “Bali is on sale” datang dari dia. Dan, dia pun menyayangi hal itu.

“Dulu saya datang ke Bali untuk keindahannya. Sekarang para investor dari negara kita datang untuk merusak Bali. Kenapa ya, pemerintah Indonesia tidak tanggap? Kenapa Bali dan para pejabat disana membisu? Apakah mereka tidak boleh bersuara untuk menentang kebijakan yang akan merusak daerah mereka sendiri?”

Teman saya tadi hanyalah seorang diantara sekian banyak yang sangat prihatin terhadap keadaan Bali saat ini. Ia menyimpulkan bahwa warga Indonesia, dan warga Bali khususnya tidak menunjukkan keprihatinan yang sama. Barangkali tidak sepenuhnya betul. Warga Bali sudah mulai sadar, pun sudah bersuara.

Para pedanda seperti Sebali, Made Gunung dan lain-lain sudah bersuara. Pun teman-teman lain seperti Putu Setia, Gde Prama sudah menunjukkan keprihatinan mereka. Ketua DPRD Wesnawa pun sudah secara tegas dan jelas menolak pembangunan yang dapat merusak keindahan Bali.

Lapangan Golf dan pembangunan vila-vila yang berlebihan – adalah dua musuh utama bagi Pulau Bali. Dua musuh ini bak “Graha Rahu dan Ketu” yang akan merusak Griya Bali. Musuh-musuh Bali ini memperoleh energi dana dari para investor yang memang tidak peduli terhadap apa yang terjadi “pada” Bali. Kepedulian mereka hanyalah pada apa yang dapat diperoleh “dari” Bali.

Kerusakan terhadap Bali atau penodaan terhadap wajah Bali, pertama kali terjadi ketika Tanah Lot dikapling-kapling. Keindahan Tanah Lot sudah sejak bertahun-tahun menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Pembangunan resort dan lapangan golf disana tidak menambah apa-apa pada keindahan alam yang sudah ada. Malah merusaknya.

Dan, pembangunan itu menjadi preseden buruk.
Apa yang terjadi disana terulang lagi di tempat-tempat lain.

Proyek apa-pun di-“oke”-kan.
“Oke” tanpa kepedulian terhadap Bali telah berakibat buruk. Terutama pada mereka yang meng-“oke”-kan. Lalu, apakah mereka yang meraup keuntungan dari “oke” itu tidak akan mengalami akibat yang sama? Jangan lupa setiap aksi menghasilkan reaksi yang setimpal.

Apa yang terjadi di Tanah Lot, tidak boleh terulang di Uluwatu, di Batu Karu. Bahkan, mereka yang terlibat dalam perusakan alam sekitar Kuta dan Legian, sebaiknya duduk bersama dan merenungkan bersama pula apa yang dapat terjadi karena ulah mereka.

Ketika kau masih berkuasa, ketika kau masih muda dan sehat – kau lupa bahwa kekuasaan itu bersifat sementara. Kau lupa bahwa usia muda dan energi yang kau miliki saat ini akan sirna. Kau tidak ingat bahwa kesehatan itu adalah rahmat Gusti Allah, berkah Hyang Widhi. Apa yang terjadi ketika rahmat dan berkah itu dicabut? Tinggal menoleh ke kanan dan ke kiri, dan kau akan melihat sendiri.

Saya juga mendengar dari teman-teman lain di luar, “Umumnya, kita semua sadar bila perubahan iklim akan berdampak negatif terhadap seluruh kehidupan di dunia ini. Maka, jelas kita tidak akan mengunjungi negara-negara yang tidak peduli terhadap isu lingkungan.”

Para bupati dan pejabat lain di Bali mesti menyadari hal ini. Ijin pembangunan villa, townhouse dan apartment yang diobral itu tidak akan menambah daya tarik Bali, malah akan menguranginya.

Di daerah sekitar Kuta, pembangunan townhouse diatas lahan kurang dari 1 are masih berlanjut. Sekian banyak rumah yang dibangun itu sama sekali tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai. Pembuangan air pun kadang tak terpikirkan sama sekali. Adalah keuntungan saja yang selalu dipikirkan.

Bagaimana posisi Asosiasi Real Estate dalam hal ini?
Asosiasi tersebut adalah bagian dari pembangunan Indonesia, untuk membangun negeri ini. Bukan untuk menghancurkannya.

Paradigma real estate dunia dimasa lalu adalah “rumah” atau “bangunan” yang fungsional. Rumah untuk ditinggali, bangunan untuk ditempati sesuai dengan fungsinya. Itu saja.

Masa berikutnya, terjadi perkembangan baru. Maka, bukanlah “fungsi” saja yang dipikirkan, tetapi juga “kenyamanan”. Dengan terjadinya peningkatan kesadaran, maka faktor kesehatan pun mulai terpikirkan.

Sekarang, dunia luar sudah mulai mengaitkan pembangunan dengan penghijauan, dengan perubahan iklim dan faktor-faktor lingkungan lainnya. Di negeri kita pun, setidaknya satu perusahaan raksasa sudah mulai “mengiklankan” hal yang sama. Baru sebatas iklan dan pemberitahuan. Fakta di lapangan menunjukkan hal yang lain, yaitu abrasi pantai yang terjadi karena pembangunan yang memang tidak memadai. Dan, tidak boleh dibangun.

Maka, sudah saatnya rakyat Indonesia, dan warga Bali khususnya – karena Bali hanyalah satu pulau yang kecil – bersuara dan secara tegas dan jelas menolak pembangunan yang hanya membawa keuntungan bagi para investor. Itu saja.

Janji “kesejahteraan rakyat” yang acapkali diberikan hanyalah sebuah ilusi belaka. Kesejahteraan apa dan rakyat apa pula, bila terjadi kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki lagi?

Inflow dana dari luar, dari negara-negara dan investor-investor yang menggunakan saudara-saudara kita sendiri – adalah “kenikmatan sesaat”. Kenikmatan materi sesaat ini akan menghancurkan Bali, dan bersama pulau Bali akan hancur pula moral kita, etika kita, sopan-santun kita.

Tidak, saya mengatakan tidak terhadap kehancuran seperti itu. Saya akan tetap bersuara dan secara tegas dan jelas menolak segala bentuk ketakadilan dan kezaliman yang terjadi di negeri kita, dan di Bali khususnya.

Janganlah kita terbuai oleh janji-janji keadilan dan kesejahteraan yang dibangun diatas nilai-nilai materialistik. Ingat, manusia tidak membutuhkan roti saja, materi saja, untuk hidupnya.

Pembangunan harus membahagiakan manusia.
Bukan saja memperkaya mereka yang membangun, bukan saja mempertebal kantong mereka yang memberi ijin, bahkan bukan saja memberi kenyamanan dan kesehatan kepada mereka yang menggunakan bangunan itu – tetapi membahagiakan semua pihak.

Pembangunan di Bali mesti berkiblat pada prinsip Tri Hita Karana yang diartikan sebagai Tri-Tunggal. Hubungan dengan Tuhan, Sesama dan Lingkungan tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi saling melengkapi dan mengisi. Tuhan tidak berada di atas sana, tetapi bersemayam di dalam diri setiap makhluk, baik yang tampak bergerak maupun yang tampak tidak bergerak.

Kesadaran seperti inilah yang akan mengantar Bali pada Sat, Kebenaran Sejati – Chit, Kesadaran Murni – dan, Ananda, Kebahagiaan Abadi……

* Aktivis Spiritual