BANGKITLAH BALI!, 25 Pebruari 2008

BANGKITLAH BALI!

Anand Krishna*
Radar Bali, Senin 25 Pebruari 2008

 

Setiap kali Bali terpilih sebagai tuan rumah bagi konperesni-konperensi penting – kita bahagia. Adalah uang ratusan ribu dollar, bahkan jutaan, dan kadang ratusan juta yang langsung saja terbayang. Dan, sesungguhnya uang itu memang ada, tetapi ya itu, sekedar “ada” – ada untuk sesaat saja. Uang-uang itu hanya bersinggah saja. Persis seperti para turis yang datang untuk beberapa hari atau beberapa minggu – uang-uang itu juga bersinggah selama beberapa hari saja, beberapa minggu saja.

Para operator tur asal Jepang, Korea dan Taiwan khususnya, sudah memiliki relasi atau rekan kerja di Bali yang berasal dari negeri mereka sendiri. Restoran pun sudah banyak yang mereka miliki. Bahkan, tempat belanja pun milik mereka. Bali hanya memperoleh uang receh saja, sedikit yang tersisa. Semacam lungsuran.

Uang receh itu tidak cukup bagi Bali. Maka, tidak heran bila tingkat kematian karena bunuh diri masih tetap tinggi. Belakang ini, banyak orang yang kehilangan keseimbangan diri. Mereka menjadi gila.

Bukan saja mereka yang kemudian masuk rumah sakit jiwa dan dirawat, atau mereka yang berkeliaran bebas di jalan raya karena tidak memiliki uang untuk biaya rumah sakit – tetapi ada juga Orgil-Orgil berkera putih. Mereka yang mengalami stres berat dan berada persis di perbatasan – antara waras dan tidak waras.

Para pembunuh berdarah dingin, entah orang Bali asli maupun pendatang – adalah penderita stres berat. Stres yang tak terkendali. Maka, insting hewani di dalam diri mereka muncul ke permukaan. Dan, mereka melakukan sesuatu yang sesungguhnya adalah penghinaan terhadap kemanusiaan mereka sendiri.

Inilah kondisi kita saat ini.

Jiwa kita berada pada titik yang sangat lemah.

Hendaknya kita tidak gusar, tidak marah, dan memahami keadaan diri, sehingga dapat mengobatinya, memperbaikinya. Jika tidak, maka kita akan terpancing oleh pemicu-pemicu di luar diri, dan kehilangan setitik kesadaran yang masih tersisa di dalam diri kita.

Perusakan Pura di Lombok Barat bukanlah sesuatu yang terjadi secara spontan. Bila kita memperhatikan kronologinya, maka kita bisa memastikan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang memang sudah merencanakan perusakan itu. Mereka tidak menghendaki adanya dialog, musyawarah atau interaksi macam apa pun antara pihak pengurus pura dan pejabat desa setempat. Maka, cepat-cepat mereka merusak Pura – supaya dialog tidak berlanjut. Supaya orang-orang Bali di pulau Bali ikut terpancing dan menyeberang untuk melakukan pembalasan.

Seandainya itu terjadi, maka para konspirator keji itu sudah mempersiapkan gerombolan-gerombolah mereka untuk berdatangan ke Lombok. Mereka ingin menciptakan Poso baru, Maluku baru. Untung, Bali tidak terpancing, belum terpancing…… ya, belum….. karena, para musuh kesatuan dan persatuan bangsa itu masih memiliki rencana-rencana lain.

Mereka yang merusak tempat ibadah, bukanlah orang yang beragama. Apapun isian pada kolom agama di KTP – mereka tidak beragama. Mereka belum mengenal agama. Maka, Bali mesti waspada, supaya tidak terpancing.

Mereka berharap bahwa setidaknya orang Bali di pulau Bali akan melakukan aksi kekerasan, akan membalas kekerasan dengan kekerasan. Untung, Syukur, Puji Tuhan, Alhamdulillah itu tidak terjadi. Avighnam Astu, supaya tidak pernah terjadi.

Tidak lama lagi, Bali akan memilih Kepala Daerah yang baru. Saat itu, hendaknya Manusia Bali tidak terpecah belah. Partai-partai yang masih memiliki komitmen penuh terhadap Pancasila, Kebhinekaan dan UUD 45 – mesti bersama-sama memikirkan nasib Bali. Bukan nasib partai, apalagi nasib kursi mereka masing-masing.

Adanya beberapa manuver politik baru-baru ini membuktikan bahwa Bali yang kecil ini masih tetap menjadi primadona. Bali masih menjadi barometer bagi keberhasilan partai-partai politik kita. Keprimadonaan ini mesti dijaga dengan baik. Supaya tidak hilang.

Para pengurus DPD setiap partai yang memiliki komitmen yang penuh dan jelas terhadap Pancasila sebagai landasan dasar kita berbangsa – saat ini dituntut untuk membuktikan komitmen mereka. Janganlah terpecah-belah….. Jangan melakukan kompromi, jangan mengadakan deal apapun dengan partai-partai yang tidak memiliki komitmen serupa.

Dari Orgil, ke Perusakan Pura di Lombok dan Pemilihan Kepala Daerah – sepertinya peristiwa-peristiwa ini tidak saling terkait. Padahal terkait….. Saat ini Manusia Bali tengah mengalami stres berat. Termasuk para politisi yang merasa tidak dihargai oleh partainya sendiri, mereka yang tidak mendapatkan sinyal hijau untuk ikut bertarung. Dalam keadaan seperti ini, sekali lagi, ketidakwarsan kita, kebinatangan kita dapat terpicu. Dapat dipicu oleh siapapun jua.

Jangan lupa, para pengacau di sekeliling kita – mereka yang berkiblat pada kekuatan-kekuatan di luar, pada petro-dollar dan dollar-dollar lain sejenis – adalah orang-orang yang cukup berpendidikan. Mereka bukanlah orang-orang bodoh dari desa. Mereka dapat memanfaatkan kelalaian kita, kelemahan kita.

Setiap kader partai yang merasa “tersinggung” atau “sakit hati” karena alasan apa pun – dapat diperalat dan digunakan sebagai senjata untuk menghantam partainya sendiri. Hendaknya para ketua partai pun menyadari hal itu, dan bersikap bijak dengan mengundang kader-kader yang “sakit-hati” dan mengadakan dialog dari hati-ke-hati. Jangan didiamkan sebagaimana telah menjadi kebiasaan beberapa ketua partai di pusat.

Kita tidak bisa, dan tidak boleh membiarkan anak-anak kita sendiri dicuci dan diracuni otaknya untuk melawan kita. Kejadian “tempo doeloe” tidak boleh terulangi lagi. Tidak boleh ada seorang anak yang bersikap murtad terhadap orangtuanya sendiri.

Inilah saatnya bagi para ketua partai untuk merangkul semua. Inilah saatnya bagi para pejabat untuk memikirkan rakyat, dan tidak memikirkan proyek dan kantong mereka sendiri. Inilah saatnya bagi para pengusaha untuk berusaha sekuat tenaga bagi kesejahteraan semua, bukan untuk kepentingan keluarga sendiri.

Bali sungguh sangat kecil, dan semestinya relatif gampang untuk diolah. Semestinya tidak ada satu pun orang Bali yang menjadi gila karena stres. Semestinya tidak ada satu pun orang Bali yang bunuh diri atau membunuh orang lain karena kehilangan keseimbangan diri.

Bila kejadian-kejadian semacam itu masih saja diberitakan, masih saja terjadi – maka kita semua mesti melakukan introspeksi diri. Kita semua mesti secara bersama-sama memikul beban tanggung-jawab, dosa, atau apa pun sebutannya. Kita semua salah, kita semua bersalah.

Saatnya, Bali bangkit.

Saatnya, Anda dan saya bangkit. Saatnya kita semua bangkit dan berkarya bersama demi kesejahteraan Bali, demi kemakmuran seluruh masyarakat Bali. Lupakan agenda-agenda pribadi, Bunda Bali membutuhkan setiap pasang kaki dan tangan untuk berkarya demi Bali…….

*Aktivis Spiritual (http://www.anandkrishna.org/, http://www.californiabali.org/, http://www.aumkar.org/)