Belajar Sopan Dikit, Yuk!, 12 November 2007

Belajar Sopan Dikit, Yuk!

Anand Krishna
Radar Bali, Senin 12 November 2007

 

Ada kalanya kesalahan terjadi, ada kalanya kesalahan dilakukan. Namun, kesalahan tetaplah kesalahan. Seorang dokter ahli otak yang juga menguasai ilmu jiwa menjelaskan kepada saya, “Seseorang tak akan meninggalkan kebiasaannya yang salah bila ia tidak menganggapnya salah!”

Berarti, jika aku berbuat salah dan tidak menganggapnya salah – maka kau yang memahami kesalahanku mesti menegurku! Seorang anak yang sudah tidak orok lagi, tidak bayi lagi, mesti diberitahu bahwa “ngompol” itu salah.

Maka, aku mendekati temanku yang berkulit putih, seorang bule, “Bul-bul, bisa nggak menunjukkan kepadaku, apa kesalahanku selama ini dalam berinteraksi dan berkomunikasi denganmu?”

“Ah, tidak…. tidak ada yang salah.” Tapi, aku dapat membaca bahwa jawaban itu tidak jujur. Maka, aku mendesaknya lagi, dan akhirnya ia pun mulai berbicara…

“Ketika kau bercanda dan menyebutku ‘Bule’, aku tidak keberatan sama sekali. Ketika aku jatuh dalam kali dalam keadaan mabuk, dan media memberitakan ‘Bule mabuk jatuh dalam kali’ – aku malu, tapi menerima berita itu. Lha, faktanya memang begitu….

“Tapi,” ia melanjutkan, “jika aku ditabrak mobil dan terpaksa harus dibawa ke rumah sakit, apalagi jika aku tewas dalam kecelakaan itu – maka cobalah memahami emosi dan sentimen orang. Hendaknya media tidak memberitakan, ‘Bule Tewas’ atau ‘Bule ditabrak Mobil’. Sepertinya, saat itu tidak pantas….”

Aku baru tersadarkan……
Memang sih kita sering membaca berita-berita semacam itu. Bahkan, kita sendiri sering berucap seperti itu. Ya, ya, ya, memang kurang sopan!

Apa lagi, apa lagi?
“Kalau para teroris yang jelas telah membunuh sekian banyak orang dan sudah dijatuhi hukuman mati, kemudian dijenguk oleh orangtua atau keluarga mereka, koq bisa-bisanya diberitakan secara panjang lebar? Lengkap dengan foto dan keharuan si pemberita saat menyaksikan pertemuan itu.

“Pernahkah kau memikirkan perasaan kami yang telah kehilangan para sahabat, bahkan anggota keluarga dalam kejadian itu? Apakah itu tidak lebih mengharukan?

“Bagaimana dengan saudara-saudaramu sendiri, warga Indonesia yang peduli terhadap keadaan bangsa dan sedang berusaha mati-matian untuk memulihkan citra Indonesia? Bagaimana perasaan mereka?

“Ketika mereka mengadakan acara khusus untuk menghormati para korban yang tidak bersalah – media tidak menurunkan berita sedetil dan selengkap ketika justru para pelaku kejahatan dijenguk oleh keluarga mereka.

“Kematian seorang hakim yang menjatuhkan hukuman mati terhadap para pembunuh berdarah dingin itu pun diberitakan dengan nada yang dalam anggapanku sangat sinis, ‘Orang yang menjatuhkan hukuman mati, mati lebih dulu’…. Kira-kira begitu….”

Hmmmm, ternyata aku, sebagai warga Indonesia memang tidak sopan-sopan banget. Aku juga tidak cukup peka terhadap perasaan orang lain. Wah, gawat juga….. apa lagi, apa lagi?

“Aku menyewa tanah untuk jangka panjang dan membuka usaha di tempat itu, tentunya bekerjasama dengan orang Bali. Di depanku ada seorang pemilik kafe karaoke. Setiap malam, kadang bahkan di pagi hari, ia menyetel sound-systemnya begitu keras, sehingga usahaku terganggu. Tidak ada yang mau tinggal di villa-ku.

“Kupikir bila partnerku yang sama-sama orang Bali menegurnya, dia akan berusaha untuk mencari solusi. Dan, solusinya pun gampang. Selama ini, ia mengejar omzet saja, dan menjalankan usahanya di tengah sawah yang terbuka. Kalau pun ada dinding, hanya untuk menutup sedikit supaya para pejalan kaki tidak dapat melihat apa yang terjadi di dalam. Bila dinding-dindingnya diperkuat dan dilapisi dengan bahan kedap suara, maka selesai pula perkaranya.

“Ah, ternyata saya salah.
Ia malah berang. Dan, partnerku diancam akan berhadapan dengan Pasukan Blah Blah Blah yang selama ini melindungi usahanya. Tempatku diancam akan dibakar. Aku mau lapor ke polisi, partnerku malah menjadi takut. Ia melarangku, karena menurut dia urusannya bisa panjang. Menurut dia, Pasukan itu memang tidak tersentuh sekalipun oleh aparat. Mau bilang apa?”

Ternyata banyak juga persoalan yang dihadapi oleh teman bule itu…. Dan, selama ini dia bungkam. Dia membisu. Kenapa?

“Terpaksa,” dengan nada sedih ia menjawab pertanyaanku, “aku telah menjual segala apa yang kumiliki di negeriku, untuk tinggal dan berusaha di Bali. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku di sini. Sekarang, aku sudah tidak memiliki apa-apa lagi di negeriku. Aku tidak bisa pulang. Tempat di Bali ini pun hanya kusewa untuk jangka panjang, mau dioper ke orang lain belum memungkinkan – karena harga sewanya jauh di bawah apa yang pernah kubayar.”

“Jauh di bawah? Koq bisa?” aku bertanya.

Ia menjadi lebih sedih, “Ini sungguh menyedihkan, aku baru tahu beberapa bulan kemudian bila harga sewa yang kubayar hampir dua kali lipat dari apa yang semestinya kubayar. Dan, pemilik tanah pun hanya mendapatkan harga pasaran. Selebihnya ditilap oleh partner-ku sendiri.”

Lebih menyedihkan lagi, ketika ia menjelaskan lebih lanjut: “Ketika kutegur partnerku, ia menjawab dengan gampang bila uang itu sudah habis untuk mengadakan upacara di kampungnya. Uang lebih dari 200,000 dollar Amerika sebelum krisis ekonomi…. Saya sudah tidak mau tahu lagi berapa besar kerugianku untuk bangunan!”

Buleku sayang, buleku malang.
Ada bule yang menipu wargaku sendiri, ada pula wargaku yang menipu mereka. Ini Karma apa?

Tapi, yang kita bicarakan disini bukanlah urusan karma. Adalah urusan sopan-santun yang tengah kita bicarakan. Urusan Karma adalah Hukum Alam yang tak terelakkan oleh siapapun jua. Urusan sopan-santun adalah urusan kita, yang semestinya dapat kita urusi sendiri.

Kesalahan telah terjadi. Kesalahan telah kita lakukan. Sekarang, adakah keberanian di dalam diri kita untuk menerima kesalahan itu sebagai kesalahan dan memperbaikinya?