Berhati-hatilah, PDIP!. Senin 10 Maret 2008

Berhati-hatilah, PDIP!

Anand Krishna*
Radar Bali, Senin 10 Maret 2008

Mundurnya Pak Winasa, Bupati Jembrana, dari PDIP adalah kerugian bagi partai. Sebesar atau sekecil apa kerugian itu, hanyalah waktu yang dapat menentukan. Namun, bagaimana pun juga – kerugian adalah kerugian.

Menurut Prinsip Dasar Ilmu Ekonomi: Bila ada yang merugi, maka sudah pasti ada yang mengambil keuntungan. Dan, keuntungan itu setimpal, seimbang dengan kerugian yang diderita.

Maka, bila PDIP merugi, jelas ada partai atau bahkan partai-partai lain yang mengambil keuntungan dari kerugian tersebut. Celakanya, sebagaimana telah berulang-kali saya kemukakan sebelumnya – baik lewat media cetak dan elektronik maupun secara lisan kepada teman-teman – kerugian PDIP bukanlah sekedar kerugian partai, tetapi kerugian bagi bangsa dan negara.

Bagi saya, PDIP bersama Golkar bukanlah sekedar dua partai besar – tetapi dua Kekuatan yang masih memiliki komitmen penuh terhadap Agenda Kebangsaan sebagaimana dicetuskan oleh founding fathers republik ini. Kedua partai tersebut adalah aset bangsa.

Sayang, kedua partai tersebut belum mampu Menjadi dan Menyediakan Wahana Besar bagi partai-partai lain yang memiliki agenda serupa. Maka, ada kalanya masing-masing partai bergandeng tangan dengan partai-partai yang memiliki agenda lain. Partai-partai kecil yang saat ini berkuasa di beberapa daerah, tak akan mampu memperkenalkan Perda-Perda yang secara jelas berkiblat pada ideologi agama tertentu bila tidak dibantu oleh salah satu partai besar. Kendati partai besar itu sesungguhnya tidak memiliki agenda serupa. Maka, jiwa pun tergadaikan demi kekuasaan.

Inilah Awal Kegagalan dari kedua partai besar tersebut. Dan, kegagalan ini sudah berakibat buruk. Negeri kita, bangsa kita sudah merugi. Bila keadaan ini tidak segera berubah, maka kerugian yang diderita sudah tak terbayangkan lagi.

Kerugian negeri ini, bangsa ini – adalah keuntungan bagi negeri lain, bangsa lain. Neo Kolonialisme dan Neo Imperialisme bukanlah sekedar ancaman, tetapi telah menjadi realita.

Kita sudah dijajah lewat kaki tangan saudara-saudara kita sendiri. Dari perbankan hingga perusahaan ritel – multinasional berada di seluruh sektor ekonomi. Pendidikan yang dianggap bermutu berkiblat pada sistem dari luar yang tidak sesuai dengan budaya kita sendiri. Kita perlu belajar tentang budaya asing, tetapi tidak perlu menyonteknya.

Masyarakat Indonesia dengan sengaja dipisahkan dari akar budayanya, supaya bisa diperbudak oleh budaya-budaya asing. Dari cara bersalaman hingga berpakaian – kita sudah menjadi foto-kopi asing.

Keadaan ini diperburuk oleh Partai-Partai Politik yang berkiblat pada kekuatan-kekuatan di luar. Kita membanggakan ideologi-ideologi asing, bahkan adat-istiadat asing yang sama sekali tidak berakar pada budaya dan peradaban kita sendiri.

Kegagalan Kedua adalah ketidakmampuan PDIP maupun Golkar untuk Mempertahankan Teman-Teman Lama. Khususnya bagi PDIP, teman-teman lain ini telah berjasa banyak dan mendukung partai ketika rejim yang berkuasa hendak mengobrak-abriknya.

Padahal ketidakpuasan teman-teman lama ini disebabkan oleh beberapa hal saja. Beberapa isu saja. Namun, isu-isu itu sangat mendasar. Tidak besar, tapi mendasar. Saya juga melihat bahwa isu-isu tersebut sesungguhnya dapat dicari solusinya secara seksama lewat dialog dengan semangat saling menguntungkan.

Beberapa kejadian di Bali menunjukkan bahwa makin banyak kader partai PDIP yang mengalami frustrasi. Kenapa? Karena, mereka merasa tidak dihargai. Partai pun dalam keadaan dilematis – berapa banyak yang dapat ditunjuk menjadi calon kepala daerah? Sudah pasti ada yang dipilih dan terpilih, dan ada yang tidak.

Inilah Kegagalan Ketiga – partai-partai besar ini belum mampu Menumbuhkembangkan Semangat Kesatriaan dan Kesiapsediaan untuk Berkorban demi tujuan yang mulia, demi sesuatu yang lebih besar.

Kita membutuhkan seorang Gatotkaca yang rela berkorban demi kemenangan Pendawa. Kita membutuhkan Eklavya yang dengan senang hati berkorban atas perintah gurunya, Resi Drona. Jangan lupa, pengorbanan mereka dicatat oleh sejarah dengan tinta emas.

Tidak ada orang tua yang memberi nama Drona kepada anaknya, tetapi nama Eklavya, atau Ekalaya, Bambang Ekalaya, Eka – masih dikenang, masih dipakai.

Kerugian demi kerugian – PDIP sudah cukup menderita. Bali memang kecil, tetapi saya masih ingat apa yang pernah dikatakan oleh Sekjen PDIP, Mas Pramono Anung: Bali adalah Rumah PDIP…. Ya, betul sekali. Rumah ini terbuka bagi semua – tetapi mesti menjadi milik bersama PDIP dan Partai-Partai yang sama-sama memiliki Agenda Nasional sesuai dengan impian founding fathers kita. Rumah ini adalah Rumah kita Bersama.

PDIP mesti bangkit dari keterpurukan ini…. Keterpurukan ini mesti diakui dan dicari jalan keluarnya. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa PDIP masih bisa bangkit kembali. Asal, ia menyadari kesalahan-kesalahannya di masa lalu, dan tidak mengulanginya lagi.

Dari Soekarnoputra, PDIP mesti berkembang menjadi Soekarnowangsa. Setiap orang yang “mencintai” Soekarno adalah Soekarnowangsa. Setiap orang yang “mencintai” saya katakan – karena menggunakan Soekarno sebagai maskot saja dan tidak memahami visinya adalah kesalahan besar.

Sebuah pertanyaan yang sangat mendasar: Berapa orang di dalam partai PDIP yang telah membaca seluruh karya Bung Karno? Apa yang mereka tahu tentang pendapat Bung Karno terhadap Ajaran Vivekanada, Pandangan Gandhi dan Karl Marx? Dan, apa yang membedakan Bung Karno dari mereka?

Saya dapat memahami bila mereka yang memiliki hubungan darah dengan Bung Karno atau pernah dekat dengan beliau – melihat sisi-sisi lain dari kepribadian beliau. Sisi-sisi yang tak terlihat oleh kita. Barangkali diantara kita ada yang masih menaruh rasa kesal terhadap beliau karena beliau melakukan poligami atau pernah memenjarakan orang yang kita anggap tidak bersalah…… Namun, saat ini bukanlah saat untuk berkeluh-kesah.

Seorang Soekarnowangsa mesti melihat beliau bukan sebagai ayah, bukan sebagai suami, bukan sebagai saudara, bukan sebagai anak, bukan sebagai teman, bahkan bukan sebagai Presiden RI yang Pertama saja – tetapi menerima beliau seutuhnya sebagai Bapak Bangsa. Kelemahan-kelemahan beliau adalah manusiawi. Kekuatan beliau, setidaknya bagi saya, adalah Ilahi – berasal dari Hyang Maha Mulia, Gusti Allah yang Maha Suci.

Apa yang kita tahu tentang dilema seorang Soekarno dengan energi sedahsyat yang dimilikinya? Beberapa waktu yang lalu saya membaca karya monumental seorang profesor dari Kanada, Victor Fic. Dalam 3 Jilid besar, ia membeberkan seluruh sejarah Indonesia dari Keruntuhan Majapahit hingga Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Penerbit di Indonesia hanya merasa perlu menerjemahkan satu jilid saja tentang Kejadian 30 September 1965. Kenapa? Karena mereka hanya memperhatikan pangsa pasar. Bagi mereka dua jilid lainnya tidak penting.

Padahal kedua jilid tersebut tak kalah pentingnya. Bila kita tidak memahami Candi Sukuh dan Tantra sebagaimana dipahami oleh Mpu Tantular – maka kita tidak dapat memahami Bung Karno. Kemudian, Bung Karno cuma menjadi maskot partai politik saja.

Bukan saja kader PDIP tetapi juga para pemimpin partai tersebut – mesti secepat mungkin kembali pada Semangat dan Jiwa Bung Karno. Bila tidak, bukan saja partai besar ini yang akan menjadi semakin kecil, tetapi bangsa yang besar ini pun sudah pasti merugi.

Peringatan telah saya berikan….. Selanjutnya, silakan Ibu Mega dan Mas Pram yang menindaklanjutinya……

* Aktivis Spiritual (http://www.anandkrishna.org/, http://www.aumkar.org/, http://www.californiabali.org/)