Dharma Judi, 17 Maret 2008

Dharma Judi

Anand Krishna*
Radar Bali, Senin 17 Maret 2008

 

Yudhisthira sudah pernah kalah dalam permainan judi. Ia sudah pernah kehilangan kerajaannya, yang kemudian dikembalikan kepadanya atas desakan Kakek Bhisma dan lain-lain. Ia pun tahu betul bila Paman Shakuni sangat licik, dan kekalahan dia memang “diatur”.

Namun, ketika ia diundang untuk kedua kalinya bermain judi bersama para Kurawa – ia tetap juga menerima undangan itu. Saat itu, Krishna sudah menegur dia: “Yudhisthira, kamu tahu betul permainan Shakuni yang licik itu.”

“Ya,” jawab Yudhisthira, “tetapi seorang raja telah mengundang saya. Dan, saya harus menerima undangannya. Menolak undangan dari Raja Duryodhana, yang juga adalah sepupu saya – sangat tidak sopan.”

Krishna mesti bilang apa? Ya sudah, dia diam saja. Dan, Yudhisthira bersiap-siap untuk memenuhi undangan dari kerajaan Hastina. Para saudara pun menasehatinya, “Kakak tidak perlu memenuhi undangan itu. Tidak ada keharusan.”

Yudhisthira yang disebut-sebut sebagai Wujud Dharma malah menasehati balik: “Adalah etika seorang raja untuk menerima undangan raja yang lain. Apalagi yang mengundang adalah sepupu kita sendiri. Ia adalah kakak kita. Dharma seorang raja mewajibkan supaya saya memenuhi undangan itu.”

Saya yakin, kita semua masih ingat kisah selanjutnya. Yudhisthira kalah lagi. Namun kekalahan yang dideritanya saat itu melebihi kekalahan sebelumnya. Bila sebelumnya ia hanya mempertaruhkan kerajaannya, maka yang terakhir ia mempertaruhkan adik-adiknya, bahkan isterinya.”

He, Yudhisthira, Wujud Dharma, Dharma Putra – dimanakah Urat Dharmamu sebagai suami? Bagaimana dengan Dharmamu sebagai kakak? Dan, di atas segalanya – kamu koq bisa seenaknya mempertaruhkan kerajaanmu, rakyatmu?

Lupakah kau bila rakyat bukanlah “milik”-mu, sebagaimana isteri dan saudara pun bukanlah “milik”-mu. Semuanya itu bukanlah kendaraan atau pakaian yang dapat kau pertaruhkan. Apa hakmu untuk mempertaruhkan kerajaan dan rakyatmu?

Sebenarnya kau siapa sih, Yudhisthira? Wujud Dharma atau Adharma? Dharma Putra atau Adharma Putra?

Namun, para penjudi tidak pernah bertanya seperti itu. Bagi mereka, Yudhisthira tetaplah seorang Dharma Putra. Ia adalah Wujud Dharma. Dan, bila seorang Dharma Putra boleh bermain judi, maka saya pun boleh, dong……

Janganlah melarang saya untuk bermain judi. Aku tidak melarangmu untuk merokok. Aku tidak melarangmu membuka “warung jelita” di tengah pemukiman…. Aku juga memberimu kebebasan untuk berjualan buku, kaset, dan video bajakan. Itu adalah Dharmamu. Dengan cara itu kau menghibur banyak orang

Bagi para penjudi Yudhisthira adalah panutan. Bagi Bos dan Mafia Judi, ia adalah contoh yang baik, “Wow, sangat jujur.. Ia merelakan segalanya demi judi.”

Luar biasa….

Seorang Dharma Putra bermain judi, dan ceritanya menjadi bagian dari epos spiritual terpanjang di dunia, “Mahabharata”. Bukankah itu merupakan pengakutan terhadap “Judi”? Wahai para penjudi yang terhormat, belajarlah kalian semua dari kejujuran Yudhisthira. Contohilah dia, “Segalanya demi Judi…. Judi Jaya, Jaya Judi, Sekali Jaya, Tetap Jaya!”

Terbayang ngaak sich olehmu, tanpa judi apa jadinya dengan oknum-oknum yang saat ini memperoleh bagian secara rapi dan teratur? Kasihanilah mereka, have a heart man…. Semestinya memang sudah ada peraturan yang mensahkan judi. Sudah saatnya kita melakukan reformasi di bidang kemaksiatan dan perzinahan pula. Semuanya itu sudah terjadi sejak zaman dahulu kala. Sudah menjadi bagian dari adat kita. Janganlah kau mengganggu adat kita. Tahu nggak, bagi kita adat itu sakral!

Lima puluh tahun yang lalu, merokok dianggap adat yang baik. Semua orang merokok. Perempuan yang tidak merokok pun dianggap kolot. Wong, namanya juga zaman kebebasan. Hebat, tepuk tangan, hore…. Aku merokok, Kamu merokok, Dia pun merokok… Aku senang, Kamu senang, Dia pun sangat senang…. Lalalalalalaa….

“Sekarang sudah tidak lagi. Merokok malah memisahkan kita dari keramaian. Di tempat-tempat publik tersedia ruang khusus bagi perokok dimana mereka bebas untuk merusak paru-paru mereka.” Ada yang mengingatkan.

Ah, kamu lagi…. memang kalau tidak merokok, paru-paru tidak rusak? Kalau tidak merokok, kamu tidak mati. Merokok mati, tidak merokok pun sama – mati. Nikmatilah hidupmu yang singkat ini. Jangan macam-macamlah….

Ada yang bertanya, “Bagaimana dengan sabung ayam?”

Adat, adat, itu pun adat. Sama koq. Malah, adat itu ada kaitannya dengan agama lho. Jangan macam-macam. Urusannya bisa besar, SARA….

Ya sudah, semua diam….

Tapi, ada pula yang mengingatkan, “He, kamu tidak tahu di luar negeri sana mereka sudah bicara tentang hak hewan. Tidak boleh ada kekejaman dan aksi kekerasan terhadap mereka. Bisa-bisa pariwisata di Bali malah kena dampaknya. Orang tidak mau kesini karena kita dianggap melakukan aksi kekerasan terhadap binatang.”

Ah, sudahlah, kamu ini bicara apa sih?

Bagaimana dengan hewan-hewan yang disembelih untuk upacara? Kalau tidak ada penyembelihan, Tuhan bisa marah….

Ada yang bingung, “Koq bisa ya? Memang Tuhan butuh darah?”

Satu lagi, kamu tahu apa sih soal agama dan Tuhan. Darah itu dibutuhkan untuk roh-roh yang gentayangan, roh-roh jahat, setan-setan – supaya mereka tidak mengganggu kita. Kamu jangan macam-macam ya, saya ingatkan ini soal agama dan adat…. Biarlah kami berlanjut dengan cara dan upacara versi kita sendiri. Kamu tahu apa?

Yudhisthira, Berjayalah kau!

Sebentar lagi barangkali kau akan dipatungkan dan ditempatkan di tengah alun-alun. Kau akan menjadi panutan, dan perbuatanmu pun disahkan. Supaya tidak ada lagi yang merasa haknya untuk main judi diusung.

Tapi, tapi bagaimana dengan para Draupadi?

Relakah kalian dipertaruhkan? Relakah kalian dijadikan “benda” dan dimiliki oleh seorang suami dan dapat sewaktu-waktu dipindahtangankan? Judi, minuman keras, kemaksiatan – semuanya itu ujung-ujungnya akan berdampak terhadap uang dapur, terhadap biaya rumah tangga? Bagaimana dong?

Barangkali kalian rela berkorban demi suami tercinta, saudara tersayang dan ayah terhormat….. Jika memang demikian, ya wis…. Tapi, bila tidak – maka inilah saatnya untuk mengatakan “Tidak”. Inilah saat untuk bersuara. Bila perempuan bersuara – maka delapan penjuru akan bergema.

Inilah saatnya untuk secara tegas dan jelas menolak judi dan kebiasaan-kebiasaan lain yang saat ini dilindungi atas nama adat dan budaya. Judi bukan budaya. Judi adalah Penyakit. Silakan merubah namanya menjadi Ajen, Bajen, Kajen atau Jen apa saja…. Jen ini bukanlah Jen yang baik.

Bersuaralah – sebelum terlambat.

Jangan lupa, di pulau ini jumlah penduduk perempuan melebihi penduduk pria. Suaramu sangat berharga…. Suaramu dapat merubah suatu keadaan….. bersuaralah……

* Aktivis Spiritual/Penulis lebih dari 110 buku (www.anandkrishna.org)