KEKERASAN BUKANLAH SOLUSI
Anand Krishna
Radar Bali. Senin 19 Febuari 2007
Kata-kata saya tersebut langsung mendapatkan tanggapan dari seorang Duta Besar dari negara sahabat. Negara yang status-nya masih tidak jelas. Negara yang sejak 50an tahun telah berjuang dan berkorban demi kemerdekaan penuh dan kedaulatannya.
Saat itu saya sedang berbicara di hadapan 400-an peserta konperensi dunia dengan tema “Power of Peace” yang diselenggarakan bersama oleh UNESCO dan Pemerintah Republik Indonesia di Jimbaran Bali dari tanggal 21 hingga 23 Januari 2007.
Dari sekian banyak peserta, hanyalah dia seorang diri bersama seorang wartawan dari negeri kita sendiri yang merasa bahwa “kekerasan masih dibutuhkan”. Bahwasanya, “kekerasan dapat menjadi solusi”.
Jelas sudah bahwa “kekerasan menjadi pilihan bagi minoritas”. Kekerasan tidak menjadi pilihan mayoritas. Kendati demikian, kekerasan yang dilakukan oleh minoritas, oleh seorang Amrozi atau Imam Samudera atau Muchlas saja, dapat berakibat fatal terhadap sekian banyak nyawa. Mereka bertiga, berempat, atau katakan bersepuluh bersama “boss-boss” mereka yang masih berada di belakang layar – memang minoritas. Tetapi mereka dapat menyandera seluruh bangsa dan rakyat Indonesia. Mereka dapat mengancam keamaman negara. Mereka dapat mengacaukan perekonomian kita.
Sebab itu, kekerasan harus ditolak. Kekerasan tidak hanya mesti ditolak beramai-ramai, tetapi ditolak oleh semua. Oleh setiap orang dan setiap lapisan masyarakat. Karena, jika ada seorang pun yang tidak menolaknya atau masih mempercayainya – maka kita semua menjadi korban dari kepercayaan yang membunuh dan merusak itu.
Kembali pada sang Duta Besar yang mewakili bangsa yang saya sangat cintai. Bangsa yang memiliki sejarah panjang selama ribuan tahun, bangsa yang sudah mengenal peradaban sejak dulu. Apa yang mereka raih, apa yang mereka peroleh, apa yang mereka hasilkan selama ini dari kekerasan?
Ia menjelaskan bahwa mereka terpaksa menggunakan kekerasan. Pasalnya dunia internasonal tidak pernah memperhatikan penderitaan mereka. Baik, setelah memperoleh perhatian dunia internasional selama 30-an tahun, apakah mereka memperoleh simpati yang mereka inginkan? Apakah mereka mencapai tujuan mereka? Jawabannya, “tidak”. Very unfortunately, sungguh sangat disayangkan, “tidak”.
Mereka mempersenjatai anak-anak yang semestinya bersekolah. Entah berapa banyak anak dibawah umur, entah berapa banyak remaja, entah berapa banyak dewasa yang menjadi korban dalam perang yang seolah tidak pernah berhenti.
Sedemikian rupanya kekerasan menjadi bagian dari hidup mereka, sehingga seorang ibu yang “belum” kehilangan salah seorang buah-rahimnya dalam perang – merasa kurang diperhatikan oleh Tuhan. Kenapa tidak ada satu pun martyr dalam keluarganya? Kenapa tidak seorang pun mati syuhda?
Mereka yang menguasai tanahmu, negerimu – memang brengsek. Tetapi, janganlah kau ikut menjadi brengsek untuk menghadapi ke-brengsek-an mereka. Janganlah kau menjadi jahat untuk menghadapi kejahatan. Janganlah kau membersihkan lantai yang kotor dengan air kotor pula.
Lalu, apakah kita tidak melawan mereka yang ingin menguasai negeri kita. Salahkah kita mengusir mereka dari wilayah kita? Apakah kita tidak boleh menggunakan senjata jika upaya diplomasi tidak membawa hasil?
Tidak, tidak salah. Demi keamanan negara, demi keutuhan wilayah – jika perlu setiap warga-negara harus mengangkat senjata. Silakan menjadi serdadu untuk melindungi Ibu Pertiwi. Tetapi, janganlah menjadi teroris. Janganlah membuang bom dan menyembunyikan diri. Itu adalah aksi seorang pengecut.
Ya, kekerasan adalah aksi para pengecut, aksi mereka yang tidak percaya diri. Aksi mereka yang tidak siap untuk berjuang – tidak berani mati di medan perang. Janganlah menyalahartikan kematian seorang teroris sebagai pengorbanan seorang martyr, seorang syuhda.
Ketika kekerasan menjadi bagian dari sifat manusia, maka ia tidak memandang bulu. Ia tidak berpikir lagi siapa yang sedang dihadapinya. Seorang anak dapat membunuh ayahnya. Seorang diplomat di negeri orang dapat “mendesak”, atau entah apa istilahnya, sesama diplomat untuk melepaskan kedudukannya sebagai duta besar. Anda tahu siapa yang saya maksudkan.
Kelompok-kelompok yang semestinya bersatu dan berjuang bersama demi kemerdekaan, sekarang malah saling membunuh. Agama mereka sama, adapt-istiadat dan budaya mereka sama, bahasa mereka sama, bahkan sesungguhnya tujuan mereka berjuang pun sama. Tetapi, hanya karena beda pandangan, beda pemahaman – maka kekerasan yang tadinya mereka tujukan kepada lawan, sekarang mereka tujukan kepada sesama. Lagi-lagi, Anda tahu persis siapa yang saya maksudkan.
Kekerasan tidak dapat menyelesaikan persoalan. Kekerasan yang dilakukan berabad-abad yang lalu masih menjadi penyebab pertikaian. Semestinya kita belajar dari sejarah, tidak mengulangi apa yang sudah terbukti salah, keliru – dan, bertindak sesuai dengan kesadaran baru. Kekerasan adalah kesalahan, adalah kekeliruan masa lalu yang sudah saatnya kita tinggalkan bersama. Demi masa depan anak-cucu kita, demi kedamaian dunia, demi perdamaian antara kita….