Sabda Alam
Anand Krishna
Radar Bali. Senin 12 Febuari 2007
Alam telah bersabda….. Keberadaan telah menyampaikan firman-Nya….. Ia telah menurunkan fatwa-Nya…… Apakah kita mendengar sabda-Nya? Apakah kita memahami firman-Nya? Apakah kita menghormati fatwa-Nya?
Dengan seribu satu macam cara, dalam seribu satu macam bahasa, dari seribu satu sudut dunia – Ia menyapa kita. Ia berusaha untuk membangunkan kita. Kita tetap tertidur lelap. Maka, “terpaksa” Ia pun harus meneriaki kita: “Bangun, bangunlah!”
Adakah seorang pun diantara kita yang mendengar teriakan itu? Ada, dan sesungguhnya banyak. Tetapi, kita masih saja bermalas-malaan diatas ranjang. Kita masih enggan untuk meninggalkan tempat tidur. Ada yang malah menyangsikan bila teriakan itu berasal dari-Nya, “Ah, mana mungkin? Tidak, Ia tidak pernah berteriak..”
Kita menempatkan fatwa kita diatas fatwa-Nya. Ia tidak pernah berteriak. Titik. Kenapa tidak? Siapa yang dapat melarang-Nya? Kau? Aku? Kita siapa? Dalam kebodohanmu, kau menentukan kode etik bagi-Nya. Dalam ketaksadaranku, aku mengatur gerak-gerik-Nya. Sungguh ajaib! Sungguh lucu dan tidak masuk akal. Kita siapa?
Tsunami adalah teriakan-Nya. Gempa bumi, banjir dan bencana alam lainnya adalah teguran keras yang telah disampaikan-Nya. Itulah Sabda Alam. Bagaimana kita mengartikan Sabda itu? Bagaimana kita memahami Sabda-Nya?
“Ah, semua itu kan karena ulah mereka yang tidak menjalankan agama yang benar.” Kata seorang agamawan yang memahami ajaran salah satu agama sebagai ajaran yang paling benar. Kebetulan, agama itu adalah agamanya. Bahkan, ia menyimpulkan bahwa orang-orang lain yang tidak sepaham dengan pemahamannya tentang ajaran agama, “adalah orang-orang yang sesat. Ya, walau seagama, sesungguhnya mereka sesat”. Dan, bukan main, dalam daftar mereka yang dianggapnya sesat itu, terdapat nama-nama besar mantan presiden dan wakil presiden kita. Bukan satu-dua saja, hampir semuanya. Belum lagi nama para pemikir kita, rohaniwan kita, bahkan para pahlawan bangsa. Termasuk mereka yang mengorbankan segalanya demi kemerdekaan kita.
Saya tidak mau berargumentasi sama dia. Percuma. Ia telah menutup dirinya. Ia tidak bisa menerima argumentasi. Bahkan ia tidak mau mendengar pendapat orang lain. Setelah menyampaikan “kebeneran” sebagaimana “dipahaminya” – ia langsung meninggalkan tempat. Takut berlama-lamaan dengan manusia-manusia sesat. Tidak cukup yakin pada “iman”-nya. Takut tergoyah barangkali.
Lewat firman-firman sebelumnya, Ia telah jelas-jelas berkata bahwa Ia tidak menyebabkan penderitaan, musibah dan bencana bagi makhluk-makhlukNya. Kita, dengan ulah kita sendiri, menyebabkannya. Kita bertanggungjawab penuh atas apa yang menimpa diri kita.
Jangan lupa, Ia mengingatkan: “Kelak setiap anggota badanmu akan dimintai pertanggunganjawab.”
“Apa yang kau tanam, itu pula yang akan kau tunai….” Hukum Sebab Akibat adalah Hukum Aksi-Reaksi yang pernah kita pelajari dalam Ilmu Fisika. Setiap aksi menimbulkan reaksi yang setimpal. Kita lupa.
Tsunami. Kekerasan yang terjadi di Aceh selama bertahun-tahun, entah siapa pun pelakunya, telah mengundang bencana itu. Peraturan-peraturan yang kita buat, kebijakan-kebijakan yang kita ambil sudah jelas-jelas mengkhianati kesepatakan kita sebelumnya: Pancasila sebagai satu-satunya landasan kita bernegara dan berbangsa.
Pengkhianatan terhadap kesepakatan itu tidak hanya berarti pengkhianatan terhadap landasan kita bernegara dan berbangsa – tetapi pengkhianatan terhadap nilai-nilai budaya kita. Pengkhianatan terhadap para leluhur kita, terhadap jati diri kita. Pengkhianatan terhadap negara dan bangsa. Pengkianatan terhadap nasib bangsa dan rakyat Indonesia. Pengkhianatan terhadap keutuhan Negara Republik Indonesia.
Alam akan terus bersabda – hingga kita menyadari hal ini. Hingga kita semua sepakat untuk memperbaiki keadaan kita. Nilai-nilai asing, budaya asing yang akhir-akhir ini banyak digembar-gemborkan, bahkan dipromosikan lewat media elektronik maupun cetak – harus segera dihentikan. Masyarakat yang belum cukup memperoleh pendidikan kebangsaan, politik, sejarah dan budaya – hendaknya tidak ditipu dan dibodoh-bodohi dengan berbagai macam tayangan yang sama sekali tidak mendidik.
Manusia baru bisa disebut “beragama” jika ia berakhlak. Tanpa akhlak manusiawi yang penuh kasih dan empati – ia tidak lebih baik dari hewan. Peng-“agama”-an adalah sebuah proses yang harus diupayakan terus-menerus. Manusia tidak dapat diagamakan hanya dengan dipaksa untuk beribadah, berpakaian, beratribut atau berpenampilan dengan cara tertentu. Tidak, tidak bisa.
Peng-“agama”-an Manusia Indonesia berarti mengembalikan dirinya kepada nilai-nilai luhur yang telah ditingglkannya selama ini. Hendaknya, wakil rakyat kita memahami arti “Budi-Pekerti” sebagaimana dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara. Budi-Pekerti adalah nilai-nilai budaya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama mana pun jua. Budi-Pekerti adalah intisari dari segala sesuatu yang baik, berlaku secara universal, dan relevan dengan keadaan kita saat ini.
Demikianlah pendengaranku. Demikianlah pemahamanku tentang apa yang terdengar olehku. Sabda Alam…….