Kekerasan di dalam Hati
Anand Krishna*
Radar Bali, Senin 14 April 2008
Seekor kambing yang akan disembelih untuk upacara keagamaan tertawa terbahak-bahak, padahal kambing-kambing lain dalam keadaan stres berat. Maka, mereka bertanya: “Sobat? Apa yang membuatmu tertawa sedemikian rupa? Sadarkah kau bahwa sesaat lagi hewan-hewan biadab berkaki dua itu akan menyembelih kita? Apakah kau telah kehilangan keseimbangan dirimu?”
Ternyata tidak, kambing itu tidak kehilangan keseimbangan diri. Ia tertawa karena alasan yang cukup kuat: “Kalian melihat orang-orang yang akan menyembelih kita itu? Dulu, mereka adalah kambing-kambing seperti kita. Dan, kita menyembelih mereka untuk apa yang kita anggap sebagai ritus keagamaan, demi Tuhan…
Kisah ini bukanlah sebuah kisah khayalan seorang anand krishna. Kisah ini bukanlah berasal dari benak seorang Wilder yang penuh dengan rasa dendam. Kisah ini berasal dari salah satu otak yang paling intelijen, kisah ini disampaikan oleh Sinddhartha, Sang Buddha.
Kisah ini pula yang diangkat oleh produsen film Hollywood “The Little Buddha” sebagai adegan pembuka. Konon, kambing yang mati dalam kesadaran itu berevolusi dan menjadi seorang Buddha. Sementara itu, para penyembelih yang tidak sadar, mati untuk lahir kembali sebagai kambing. Kemudian, saat di sembelih, mereka mati dengan rasa dendam – maka lahir kembali sebagi penjagal untuk membalas dendam.
Siklus kekerasan mesti diputuskan, dipatahkan, disudahi. Jika tidak, maka kita terperangkap dalam siklus tersebut. Membunuh, mati, lahir kembali, mati lagi terbunuh – dan seterusnya.
Diantara para pembaca, barangkali ada yang tidak bisa menerima apa yang selama ini masih dianggap sebagi “teori” reinkarnasi, “Ah, dalam kepercayaan kami tak ada tuh teori-teori seperti itu.”
Tak apa, tunggu duapuluhan tahun saja – atau barangkali kurang dari itu – Stem Cell Therapy dan kemajuan di bidang sains, misalnya Genetical Engineering dan lain sebagainya – tak lama lagi akan menerima reinkarnasi sebagai sains. Ini tidak ada urusannya dengan kepercayaan.
Kekerasan yang ada di dalam hati kita; kekerasan yang sudah menjadi watak kita; kekerasan yang dianggap “bawaan” atau inheren – merupakan akibat dari “sebab” di masa lalu.
Kekerasan yang terjadi di Bali, bahkan di seluruh Indonesia – adalah akibat dari kekerasan yang telah kita lakukan di masa lalu. Maka, kekerasan ini hanya dapat diakhiri dengan kesadaran, dengan kasih, dengan compassion. Tak ada jalan lain.
Media kita penuh dengan berita-berita kekerasan. Tidak dibelikan uang untuk berfoya-foya, maka seorang anak bisa membunuh orangtuanya sendiri. Gara-gara “sms” saja, seorang suami bisa membunuh isterinya.
Kekerasan terjadi dimana-mana, dalam setiap golongan. Seorang calon gubernur tidak boleh berkampanye di kabupaten “A”, karena kabupaten itu berpihak pada calon yang lain. Maka, terjadilah serangan balik – calon yang lain diharamkan untuk berkampanye di kabupaten “B”.
Siapapun yang kelak terpilih sebagai Gubernur, apa jadinya dengan kabupaten yang mengharamkan kampanye bagi dia? Apakah ia mesti membalas dendam? Atau, kabupaten itu membangkang, karena peraturan daerah yang berlaku saat ini memungkinkan hal itu.
Bangsa ini sedang melewati masa gelap yang sangat mengkhawatirkan. Seorang Presiden tidak didengar. Para menteri sibuk mencari uang dan melakukan transaksi-transaksi dagang dengan pihak asing untuk menyelamatkan aset mereka.
Lihat saja apa yang terjadi di daerah Kuta dan Legian dalam 5 tahun terakhir. Ikan-ikan yang mati, bau amis yang tercium hingga Simpang Siur. Ketinggian air laut yang setiap bulan purnama meningkat….. Tetapi, pembangunan yang tidak cerdas pun berjalan terus. Saya mendengar dari seorang teman yang bekerja di salah satu proyek mega raksasa di sana, “Bossku sudah mengalihkan sebagian sahamnya kepada pihak asing. Tahu kenapa? Karena, dia tidak yakin bisa berkuasa lebih lama – daripada nanti diusut dan diobrak-abrik, maka sebelum pemilihan umum dijual saja sebagain sahamnya. Biar nanti kalau ada seorang anand krishna yang bikin ribut, pihak asing yang menghadapinya. Pemerintah kita kan selalu mengalah kepada pihak asing.”
Ah, kantong memang lebih penting dari pada masa depan Kuta dan Legian. Ini adalah kekerasan.
Bunuh diri, Membunuh orang, Menyebabkan terjadinya Pembunuhan atau Kematian – semuanya itu hanyalah bentuk-bentuk lain kekerasan.
Tapi – dan ini penting sekali – menyaksikan terjadinya kekerasan dan tidak berbuat apa-apa merupakan “kejahatan” utama. Itu adalah cerminan “kekerasan yang ada di dalam hati kita.”
Rasanya, kita semua tanpa kecuali, masih menyimpan kekerasan di dalam hati kita masing-masing. Sehingga kekerasan yang terjadi di luar itu kita anggap sebagai “adegan” saja. Kemudian, kita malah menikmatinya.
Atau, kita membalas kekerasan dengan kekerasan. Dengan cara ini, kita malah memperparah situasi. Kita menciptakan siklus kekerasan seperti yang tercipta di Timur Tengah – dan hingga hari ini pun belum terpatahkan. Ini merupakan cara yang sama sekali tidak cerdas untuk menyelesaikan persoalan.
Duduk Diam dan Tidak Berbuat apa-apa, atau Membalas Kekerasan dengan Kekerasan – dua-duanya bukanlah solusi. Kedua-duanya sekedar reaksi terhadap simptom.
Kekerasan muncul dari pikiran tapi bertumbuh dan membesar di dalam hati. Akar kekerasan ada di dalam hati, dan akar itu yang mesti dicabut. Akar itu hendaknya tidak dipupuki dan diberi air. Akar itu mesti dibiarkan mati.
Dengan cara apa?
Dengan cara menumbuhkembangkan rasa cinta terhadap sesama. Dengan menolak Wilder, juga menolak om saya di Jawa Tengah, karena dua-duanya hanya memupuk kebencian dan kekerasan.
Khususnya untuk Bali…… Tidak semua kebiasaan itu baik dan mesti dilestarikan. Perubahan adalah Keniscayaan. Beranikanlah dirimu untuk berubah, untuk melestarikan segala sesuatu yang baik dari masa lalu, dan meninggalkan apa saja yang tidak baik.
Bali, masih ingatkah kau dengan pedoman “Antara Shreya dan Preya“? Antara “Yang Memuliakan” dan “Yang Menyenangkan”? Pilihlah yang memuliakan demi masa depan Bali….. Karena, yang memuliakan itu pula yang dapat melembutkan hatimu, dan meyelaraskan jiwamu dengan semesta…..
* Aktivis Spiritual/Penulis (http://www.californiabali.org/, http://www.aumkar.org/, http://www.anandkrishna.org/)