Manusia Bali, Bunga dan Pangan, 15 Juni 2008

Manusia Bali, Bunga dan Pangan

Anand Krishna*
Radar Bali, Minggu 15 Juni 2008


Sulit untuk dipercayai bila Bali pernah dikenal oleh dunia luar sebagi pemasok kelapa dan kelapa sawit kualitas nomer satu. Sesungguhnya, citra itulah yang kemudian menarik orang asing, khususnya para pedagang untuk berkunjung ke Bali.

Sebelum 1930-an, para pedagang itu datang ke Bali dengan kapal kosong, dan pulang dengan kapal berisikan hasil bumi yang mereka jual dengan harga sangat tinggi di pasar internasional. Salah satu contohnya adalah Pala. Komoditas yang dianggap primadona, harganya lebih tinggi dari emas, dari logam mulia.

Bukan saja Bali, tetapi Maluku, Jawa, Sumatra – hampir seluruh kepulauan Nusantara dikenal untuk hasil buminya. Bagi para pedagang dari manca negara, kepulauan kita memang Svarna Bhumi, Svarna Dvipa – Kepulauan Emas. Bumi kita subur, ditancap apa pun langsung tumbuh.

Kembali pada Bali….
Para pedagang yang datang dengan kapal kosong itu mulai berpikir tentang cost-efficiency. Awalnya mereka mengajak teman-teman mereka untuk berkunjung ke Bali dengan biaya yang sangat rendah – asal kapal mereka tidak kosong. Kemudian, pada tahun 1930, datanglah rombongan wisatawan pertama. Inilah awal dari organized tourism. Saat itu jumlah mereka yang berkunjung mencapai 100 orang.

Saat itu, tourism atau pariwisata merupakan bonus bagi Bali. Bali sama sekali tidak tergantung pada tourism. Pun tidak tersedia fasilitas yang memadai – namun para wisatawan dari manca negara senang dengan apa saja yang mereka peroleh.

Inilah genre wisatawan yang sopan, santun, terpelajar, berpendidikan, dan pecinta Bali. Hingga saat ini pun tulisan-tulisan mereka masih menjadi acuan ilmiah bagi studi mana pun tentang Bali.

Daya tarik awal Bali adalah Hasil Buminya.
Kekuatan Bali awalnya adalah pangan.

Sayang sekali, daya tarik ini, kekuatan ini terlupakan sama sekali oleh kita. Begitu tenggelamnya Bali saat ini dalam dunia pariwisata, sehingga tidak bisa memikirkan hal yang lain.

Tapi, keadaan ini tidak boleh berlanjut. Sekjen PBB Ban ki-Moon sudah mengingatkan seluruh dunia bila selama setidaknya satu dasawarsa ke depan – seluruh dunia akan kekurangan pangan. Sebagai akibat langsung, harga pangan akan naik terus. Tidak ada indikasi untuk turun segera.

Dalam keadaan seperti itu, apa yang mesti dilakukan oleh Bali?
Pertama: Kita perlu merenungkan dulu apa yang menyebabkan scarcity of food ini? Apa yang menyebabkan dunia kita dewasa ini kekuarangan pangan? Jawabannya: Industrialization yang berlebihan. Sawah kita tergusur oleh industri, perumahan dan ruko-ruko yang kosong, lapangan golf yang hanya menguntungkan segelintir manusia. Alhasil, kita kekurangan pangan.

Padahal jika dipikirkan tujuan pembangunan itu apa? Bukankah kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuannya? Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa bukanlah kesejahteraan tetapi kesengsaraanlah yang kita peroleh.

Kedua: Bila sebabnya sudah ditemukan, maka dari jajaran pemerintah daerah, wakil rakyat hingga rakyat sendiri mesti segera menghentikan pembangunan yang tidak cerdas, yang justru menyengsarakan rakyat itu.

Lahan sawah tidak boleh dirubah penggunaannya. Sawah harus dipertahankan sebagai sawah. Berita baik bagi kabupaten-kabupaten yang selama ini tidak begitu tersentuh oleh demam pariwisata – seperti Bangli, Jembrana dan sebagainya – silakan mulai bercocok tanam lagi. Karena, jagung yang begitu mudah ditanam itu saja sudah dapat meningkatkan pendapatan daerah dalam tahun-tahun mendatang.

Ketiga: Pendidikan dan pedewasaan para petani. Hasil pemantauan saya selama ini, banyak yang menanam bunga untuk keperluan upacara dan sebagainya. Kenapa: karena hasilnya dapat dinikmati dengan cepat. Petik bunga, jual, dapat uang.

Mentalitas “asal cepat dapat uang” ini mesti dirubah. Harus ada bantuan dari kementerian yang mengurusi koperasi dan sebagainya (semoga Bapak Menteri tidak terlalu sibuk menjenguk para pelaku aksi kekerasan yang berada dalam tahanan), untuk memberi cash advance kepada para petani. Sehingga mereka bisa hidup, dan mengembalikan cash advance tersebut setelah panen.

Keempat: Perubahan paradigma dari Corporate Social Responsibility menjadi Corporate National Responsibility. Perusahaan-perusahaan besar hendaknya tidak sekedar memberi sedekah ikan kepada mereka yang miskin. Tetapi, memberi kail supaya mereka bisa memancing sendiri.

Para pengusaha, pedagang, industrialis – semuanya mesti memikirkan bila apa yang mereka lakukan itu menguntungkan negara dan bangsa atau hanya menguntungkan diri mereka sendiri. Bila hanya menguntungkan diri mereka, kemudian mereka menyisihkan sekian persen dari keuntungan mereka bagi fakir miskin – maka mereka sungguh tidak cerdas.

Pemberian sedekah bukanlah usaha yang cerdas. Pemberian sedekah tidak dapat membebaskan diri kita dari tanggung jawab yang lebih besar, yaitu terhadap bangsa dan negara. Usaha kita, pekerjaan kita, seluruh tindakan kita harus menguntungkan bagi seluruh bangsa dan negara. Saya tidak bisa berbisnis dengan cara apa saja, bahkan dengan merugikan negara dan mencoreng nama bangsa – kemudian berbagi sedikit dari keuntungan itu untuk mencuci dosa-dosa kita. Bali tidak memiliki tradisi pencucian dosa atas penderitaan masyarakat seperti itu.

Kelima: Bali sebagai pulau yang kecil masih bisa diatur dengan lebih mudah sehingga menjadi swasembada Pangan. Pemerintah Daerah dan siapapun nantinya yang akan menjadi Gubernur Bali mesti menjadikan hal ini sebagai prioritas utama. Sehingga kita tidak tergantung pada bantuan dari luar Bali. Kita tidak boleh menyusahkan dan membebani pulau-pulau lain. Bali yang swasembada itu kemudian bisa berperan secara lebih aktif, dinamis, bebas, lugas dan tegas untuk mengarahkan kepemimpinan di pusat supaya komitmennya terhadap kesatuan wilayah NKRI dan persatuan bangsa berlandaskan pada nilai-nilai luhur budaya, Pancasila – tidak melentur.

Bali, tugasmu berat….
Bukan saja menjadi cahaya bagi dirimu, tetapi mencahayai seluruh kepulaaun Nusantara dan para pemimpin kita di pusat yang saat ini pikirannya berkabut, dan hatinya menjadi alot. Sayang, mereka terlalu banyak bergaul dengan orang-orang berhati keras dan alot.

Sekian dulu…..

*Aktivis Spiritual