“Pemusatan diri pada Hyang Tak Berwujud dan mencapai kemanunggalan dengan-Nya memang lebih berat selama Jiwa masih berkesadaran badaniah”
Bhagavad Gita ( 12.5)
Seorang guru, seorang pemandu spiritual sejati mengetahui bagaimana cara menghadapi audiensnya. Bila mayoritas dari audiensnya termasuk dalam kategori “orang-orang berkesadaran badaniah” – ia tidak akan pernah menganjurknn pcmujaan kepada Hyang Tak Berwujud, Hyang Abstrak. Ia tahu bahwa akan sangat sulit bagi mereka untuk memusatkan mind (gugusan pikiran dan perasaan) mereka pada Brahman, pada Achintya – yang melampaui pemahaman chitta. inti mind mereka, Jadi, ia akan menganjurkan pcmujaan terhadap Hynng Berwujud, sebuah wujud tertentu, salah satu dari wujud Hyang Maha Mulia yang tak terhitung jumlahnya. Inilah konsep Ishta dalam Sanatana Dharma. yang populer disebut sebagai Hindu Dharma. Bukan Hinduisme, karena gaya hidup atau filosoli kehidupan Hindu melampaui segala macam isme. doktrin dan dogma yang mengkotak-kotakkan umat manusia.
Sayangnya, kebijaksanaan dari para guru sejati kita ini sering disalahpahnmi. Beberapa dasawarsa silam, salah seorang guru sejati pergi ke dunia barat dan dalam beberapa tahun meraih pencapaian yang tidak berhasil dicapai oleh guru-guru lain pada zamannya.
Pertama-tama, ia mengbadapi kaum hippies serta mereka yang kesepian. muak dengan perang dingin. maupun yang kurang beruntung dan tersisihkan dari masyarakat – orang – orang yang bingung. Berikutnya, dia menghadapi jenis cendekiawan, yang mcngngungkan kecerdasan dan kecendekiaan mereka. Kedua-duanya, bahkan, kebanyakan orang yang dia temui, adalah “mereka yang berkesadaran badaniah”, dalam penger¬tian mereka tidak benar-benar mengenal apa itu mistisisme dan spiritualitas timur.
Ia sering menyebut mereka sebagai Yavan, Mleccha, kaum pemakan daging, dalam pengertian belum sepenuhnya beradab. Mulanya, sulit bagi mereka bahkan untuk melepaskan daging, alkohol dan seks bebas. Bagairnanu pula menganjurkan pemu¬jaan pada Hyang Abstrak? Jelas akan terlalu sulit bagi mereka.
Maka, Ia menganjurkan pemujaan pada salah satu wujud Hyang Maha Mulia ynng ia sebut sebagai Sosok Kepribadian Tertinggi dari Tuhan. Ini sepenuhnya selaras dengan Sanatana Dharma yang memberikan kita kebebasan untuk memilih Ishta kita sendiri dan menganggap lshta tersebut sebagai Hyang Ter¬tinggi. lnilah Sanatana Dharma.
Agar chitta atau inti mind (gugusan pikiran dan perasaan) dari para muridnya terpusatkan pada sang pujaan. ia bahkan memperingatkan mereka untuk tidak membuang-buang waktu untuk membaca dan membahas hal-hal yang tidak relevan dengan sadhana atau laku spiritual mereka. Sekali lagi, inilah Sanatana Dharma. Disiplin semacam ini sangat penting di awal perjalanan spiritual.
Kebijaksanaannya cocok dengan kebutuhan mind barat. Dan suksesnya luar biasa, hampir tidak pernah terjadi sebelumnya di masa modern.
Mempelajari kehidupan beliau dari berbagai sumber berbeda, terutama tentang fase terakhir dari hidupnya, kita dapat dengan mudah mcnyimpulkan bahwa ia belum membawa para murid, para siswa, para panembah ke level berikutnya. Bahkan saat terbaring di ranjang menjelang wafatnya, ia menghubungi para Gurubhai; sesama murid dari gurunya, dan membahas banyak hal. Termasuk meminta maaf kepada mereka untuk kesalahan apapun yang pernah ia perbuat. Luar biasa!
Sungguh sangat menyedihkan melihat banyak murid-murid beliau saat ini menjadi begitu fanatik dalam pemujaan Ishta mereka, hingga mereka seringkali dengan terbuka merendahkan pemujaan pada sosok-sosok pujaan lainnya, yang Ishta-nya berbeda.
Memang tidak semua, namun kebanyakan dari mereka menolak semua jalan lain, semua filosofi lain, yang telah memperkaya khazanah Sanatana Dharma. Mereka yang menjadikan filosofi atau cara pandang lain sebagai pegangan hidup pun diberi julukan yang agak mengejek dan merendahkan martabat.
Mereka melupakan fakta bahwasanya, jalan, tradisi, atau apapun sebutannya yang mereka ikuti hanyalah salah satu dari tiga jalan utama, tiga tradisi besar. Dan, dalam tiap tradisi dan jalan besar tersebut, ada beberapa sub-jalan, sub-divisi.
Setelah menjadi bagian dari tradisi yang sama, setelah belajar dari seorang guru yang sama yang mewakili salah satu subdivisi, guru yang sangat saya kagumi dan hormati tersebut, kemudian memulai gerakan dcngan corak khas yang tidak ditemukan, atauu setidaknya tidak sama dengan yang lain. Jadi?
Keanekaragaman inilah yang merupakan keindahan dari Sanatana Dharma. Janganlah kita menghancurkan ini. Biarkan tiap Sanatani mengingat jalan yang dipilihnya, memuja ishtanya, dan merayakan kesatuan Dharma.
Dimuat di Majalah Raditya, Edisi 262, Mei 2019