Peluang bagi Pariwisata Spiritual, 11 Pebruari 2008

Peluang bagi Pariwisata Spiritual

Anand Krishna*
Radar Bali, Senin 4 Pebruari 2008

“Baik, baik, kirim e-mail saja… Nanti akan saya buka lewat Blackberry saya… Ya,ya, ya, nanti lewat Blackberry ya….” Pemilik Travel Biro di India itu tengah bicara dengan agennya di kota lain lewat telepon genggam. Dan, semestinya informasi yang diinginkannya itu dapat diperolehnya langsung lewat telepon. Bahkan, barangkali sudah diperolehnya. Tidak perlu dikirimkan lagi lewat e-mail. Tapi, apa boleh buat…. dia tak mampu mengendalikan keinginannya untuk pamer. Kita, kliennya, mesti tahu bila ia memiliki telepon genggam bermerek Blackberry.

Kejadiannya di New Delhi, kebetulan saat itu saya sedang berkunjung ke India bersama beberapa teman.

Keluh-kesah kita tentang kekurangajaran agennya selama kita berada di Kashmir tenggelam dalam lautan hatinya yang begitu luas dan hendak berpamer. Ceritanya – dalam perjalanan menuju daerah yang lebih tinggi dari Srinagar, Ibu Kota Kashmir, semestinya ban kendaraan dilapisi rantai. Dan, saat meninggalkan Srinagar, saya pun sudah bertanya kepada sang pemandu. “Oh, itu gampang… nanti di Tangmarg,” desa sebelum tujuan kita, yaitu Gulmarg, “kita akan ganti kendaraan.”

Baik, kita menerima saja.
Namun, di Tangmarg dia tidak melakukan apa yang dijanjikannya itu. Kita tetap menggunakan kendaraan yang sama. Tanpa rantai pada ban. Saya menanyakan kembali. Dan, dengan santai ia pun menjawab, “Tidak menjadi soal. Supir kita yakin tidak menjadi masalah.”

Namun, masalah tetaplah terjadi.
Kendaraan kita yang tanpa rantai itu berulang kali mengalami slip. Sungguh sangat berbahaya. Demi penghematan uang beberapa ratus rupees, tidak lebih dari 100-an ribu rupiah, mereka mengambil resiko yang sangat tinggi dan berbahaya.

Tour Operator, para Pemandu Wisata, bahkan barangkali Dinas Pariwisata di India pun tidak sadar bila para wisman yang datang ke India semata karena daya magis India. Pelayanan yang mereka berikan jelas tidak sesuai dengan harapan. Keluhan ini bukanlah dari saya saja yang sudah berulang kali ke India, namun juga dari para wisman lain yang kebetulan saya temui di sana. Baik dari Amerika, Australia, Eropa, maupun Asia – seperti Thailand, Taiwan dan lainnya.

Orang Buddhis kesana untuk melakukan ziarah ke tempat-tempat suci yang terkait dengan Agama Buddha. Orang Hindu ke sana untuk hal yang sama. Banyak orang Muslim pun berkunjung karena peninggalan sejarah yang terkait dengan Masa Jaya Islam dan Makam para Sufi yang dikeramatkan. Semuanya itu telah menambah daya magis India. Di luar itu, para tour-operator, pemandu wisata, boleh dibilang seluruh industri pariwisata India tidak memiliki daya magis apa pun jua.

Saya mendengar sendiri bagaimana para pemandu wisata di sana memperlakukan para tamu dari luar negeri sebagai “benda”, paling banter sebagai “sapi perah”. Adalah komisi dari belanja saja yang mereka harapkan. Selain itu, mereka tidak tertarik dengan apa pun jua. Mereka tidak akan mengambil satu pun langkah ekstra untuk memuaskan para wisman.

“Incredible India” – demikian bunyi slogan pariwisata. Dengan cara itulah mereka melakukan branding. Incredible berarti sesuatu yang sulit dijelaskan…. Tetapi, Compact Thesaurus Oxford juga mejelaskan Incredible sebagai “doubtful” – yang meragukan. Mind Blowing dan Mind Boggling – Menakjubkan, tidak masuk akal….

Di tempat lain, saya pun mendengar tentang para guru yoga di sana yang lebih suka meraba-raba badan para siswi bule daripada mengajarkan yoga. Banyak padepokan yang mengaku spiritual lebih sibuk mengurusi materi. Materi memang dibutuhkan, tetapi spiritualitas juga tidak boleh dikomersilkan. Adalah komersialisasi spiritual yang saat ini terjadi disana.

Dalam bahasa Hindi populer ada sebuah pepatah yang kurang-ajar, “Hansi to Phansi” – bila seorang cewek tersenyum, maka anggaplah dia mau sama kamu.

Hmmmm, bagaimana dengan orang kita yang memang murah senyum? Ada kalanya si pemandu dan supir berpikir bahwa saya tidak memahami bahasa mereka. Maka, mereka pun secara bebas berdiskusi tentang betis seorang teman. India, seperti inilah wajah wargamu saat ini!

Cerita lain pada kunjungan sebelumnya: Seorang anak muda yang baru gede, baru lulus kuliah dan kebetulan memperoleh pekerjaan di perusahaan multinasional, sepanjang perjalanan di kereta menelpon teman-temannya untuk memberitahu bila ia berada dalam gerbong kelas satu.

Saya mengajak dia bicara, “Bagaimana pendapatmu tentang perusahaan-perusahaan multinasional yang telah banyak mengambil porsi pengusaha nasional?”

Bagi dia, “Tidak menjadi soal…. Adanya perusahaan-perusahaan multinasional ini yang membuat anak-anak muda seperti saya gampang memperoleh pekerjaan.”

“Baik, tapi bagaimana dengan deregulasi yang telah merugikan rakyat kecil, petani khususnya?” Dia tidak mau tahu.

Kesimpulan saya: Indonesia memiliki peluang yang besar sekali, khususnya Bali, untuk menjamu para wisman yang telah mengalami disillusion dengan India. Mereka yang sudah jenuh dan kecewa berat dengan India.

Peninggalan sejarah, budaya, dan agama di Indonesia tidak kalah dari India. Borobudur, Prambanan dan Bali, seluruh pulau Bali – sesungguhnya memiliki daya magis yang sama seperti India.

Saatnya kita berbenah diri. Saatnya kita mengolah kepariwisataan kita secara bijak dan lebih baik lagi…. Indonesia mesti tetap hijau, supaya kita memiliki nilai tambah, supaya kita berada di atas India, yang dengan segala kemajuannya di bidang sains dan teknologi masih tetap berdebu dan panas. Heat and Dust masih menjadi identitas India.

Indonesia yang Hijau, Taman Sari Bali di mana pepohonan dibiarkan tumbuh sesuai dengan kodrat mereka – jauh lebih menarik daripada India. Seribu kali lebih menarik adalah desa-desa kita dengan alam yang masih asri. Keindahan Alam ini mesti dijaga dan dilestarikan.

Dan, lebih dari itu adalah penting sekali bagi para tour-operators kita, bagi para pemandu wisata kita untuk mengenal Budaya Nusantara. Sehingga kita bisa menjelaskan dengan bangga kepada setiap tamu asing bahwa Merah dan Putih itu mewakili nilai-nilai apa? Kenapa Merah diatas dan Putih di bawah, kenapa tidak sebaliknya?

Apa maksud Mandala Borobudur, dan kenapa pula Giri Bangun dibangun oleh Presiden Kedua RI menyerupai Mandala? Apa maksudnya? Kenapa Pemakaman Bung Karno di Blitar pun semestinya dipugar dan dibuat seperti Mandala?

Dinas Pariwisata, khususnya di Bali memiliki peluang yang luar biasa untuk setidaknya memindahkan wisman yang saat ini sudah mulai bosan dan jenuh dengan India karena pelayanan yang semakin tidak memuaskan. Mereka adalah pemerhati budaya yang dapat menjadi pengunjung setia setiap tahun.

Bagaimana caranya?

Pertama: Memberi program singkat tentang Budaya Nusantara dan Nilai Filosofis di baliknya kepada para pemandu wisata. Sehingga, mereka tidak sekedar menjelaskan sejarah tempat-tempat yang dikunjungi, tetapi juga nilai-nilai yang dapat dipelajari dari sejarah. Seorang pemandu mesti menjadi Duta Budaya Bangsa.

Ia tidak mempelajari semuanya itu semata untuk mencari nafkah, tetapi karena memang mencintai budaya dan sejarahnya sendiri. Sehingga…..

Kedua: Dengan sendirinya ia menjadi lebih sopan, lebih santun terhadap para wisman dan wisnu. Dan, tidak melulu mengharapkan komisi dari pembelanjaan.

Ketiga: Lebih cerdas dalam hal pemilihan tema untuk menarik wisman. Tema yang digunakan sekarang, yaitu memperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional cukup menarik bagi wisatawan dalam negeri, tetapi tidak bunyi bagi para pelancong dari luar negeri. Mereka membutuhkan tema yang lebih internasional dan universal. Apalagi warna-warna yang kita gunakan untuk iklan resmi pun terasa menyontek dari iklan Malaysia.

Padahal, kita memiliki alam nan indah dan asri sebagai daya tarik. Apalagi bila dikaitkan dengan isu Pemanasan Global dan Perubahan Iklim.

Sesungguhnya, masih banyak yang kita miliki yang dapat mendobrak sektor kepariwisataan kita…. Tetapi, ruang ini membatasi saya, maka sekian dulu….

* Aktivis Spiritual (www.anandkrishna.org, www.californiabali.org, www.aumkar.org)