“Yoga Citta Vriti Nirodha”
Anand Krishna*
Radar Bali, Minggu, 22 Juni 2008
“Yoga is Cessation of Modification of Citta (Mind)” – demikian menurut Maha Guru Patanjali. Patanjali adalah Sang Guru yang menyajikan Yoga secara sistematis, dan sebagai Ilmu (Science).
Sungguh menarik bahwa Pesta Kesenian Bali (Bali Art Festival) menjadikan Sutra Kedua dari Yoga Sutra yang disusun oleh Bhagavan Patanjali ini sebagai motto, sebagai slogan.
“Modifikasi” – perubahan – atau apa pun sebutannya, adalah pekerjaan pikiran. Setidaknya selama ini itulah yang dilakukanya. Persis seperti seekor kera yang berada di tengah hutan, pikiran kita sedang berkeliaran bebas. Kemudian, liarnya pikiran itulah yang menyebabkan berbagai macam persoalan.
Liarnya pikiran saya tidak hanya menyusahkan diri saya saja, tetapi juga diri Anda. Bahkan, bila saya berada pada posisi yang cukup tinggi, maka liarnya pikiran saya dapat menyusahkan semua orang yang berada di bawah saya.
Sebab itu, Patanjali merasa perlu menulis sebuah panduan untuk “menghentikan”-nya. Pikiran kita memang liar, tetapi dapat dijinakkan. Janji Patanjali ini bukanlah hisapan jempol. Banyak yang telah membuktikannya. Sejarah umat manusia penuh dengan perumpamaan yang membuktikan hal itu.
Baginda Rasul mengatakan hal yang sama dalam bahasa Arab, bahwasanya “pengendalian nafs” atau napsu adalah jihad atau “upaya” terbesar yang dapat dilakukan oleh manusia.
Krishna mengingatkan bahwa “pikiran” manusia adalah lawan sekaligus kawan manusia. Pikiran dapat menjatuhkan kita, dapat juga membangkitkan kita.
Buddha mengajak kita untuk melampaui pikiran dan meraih boddhi-citta – Kesadaran Murni.
Pertanyaannya: Adakah “Pengendalian Diri” ini terkait dengan Pesta Kesenian Bali? Adakah “pengendalian diri” itu menjadi urusan, tujuan, atau visi pesta seni?
Tulisan ini sesungguhnya muncul dari kegundahan saya ketika seorang teman dari luar negeri menegur saya, “Ketika saya meng-google (mencari di web dengan menggunakan search-engine Google), saya tidak melihat penjelasan apapun di situs http://www.baliculturefestival.com/.” Saya sendiri mengunjungi situs tersebut, ternyata teman saya benar. Halaman pertama yang muncul malah mengiklankan berbagai macam hal lain yang tidak ada urusannya dengan Pesta Kesenian Bali.
Kemudian, saya juga berusaha untuk mencari halaman-halaman lain yang terkait dengan Pesta Kesenian Bali, ternyata hampir semuanya dalam bahasa Indonesia dan hanya memberitakan pembukaan pesta oleh Yang Mulia Bapak presiden kita.
“Pesta Kesenian”, “Bali”, “Yoga”, “Patanjali”, “Citta Vriti Nirodha”, “Taman Budaya” dan masih banyak lagi kata dan nama besar lainnya… Sayang, tidak satu pun yang berbunyi. Semuanya membisu.
Ada apa dibalik kejadian ini?
Adakah kesungguhan dari diri kita untuk merayakan pesta besar ini? Adakah kesungguhan dari diri kita untuk menyebarkan berita baik tentang sebuah kemungkinan akbar bila “Pengendalian diri itu dapat diupayakan”?
Pesta Kesenian bukanlah pesta Kebudayaan….. Yang sedang kita rayakan itu hanyalah sekedar Pesta Kesenian atau pesta Kebudayaan? Taman Budaya di Denpasar, dimana pesta itu sedang berlangsung, hanyalah sebuah taman seni atau taman budaya? Banyak sekali persoalan penting yang selama ini belum terjawab. Kenapa? Karena kita sangat sibuk dengan hal-hal lain…..
Misalnya: Pembangunan Resort dan Golf Course di Karang Asem. Saudara-saudara kita disana seolah tidak mau belajar dari akibat pembangunan yang tidak cerdas sepanjang pantai Kuta dan Legian karena. Abrasi pantai dan ketakseimbangan eco-system yang telah terjadi menyebabkan air laut makin dekat dengan pagar hotel di seberangnya. Alasannya sederhana: Resort itu, Golf Course itu akan menyejahterakan manusia Karang Asem yang tinggal di sekitarnya.
“Bagaimana dengan kontribusi pembangunan tersebut terhadap global warming?” Ah, itu bukan urusan kita. Biarlah pemerintahan sedunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membahas hal itu.
Kita juga tidak peduli terhadap pengaruh psikologis terhadap anak-cucu kita sebagai akibat langsung dari berkurangnya public space.
Kekerasan yang terjadi dikalangan orang dewasa, sekarang sudah menyebar kekalangan anak remaja. Apa sebabnya? Pernahkah kita membahas hal itu bukan sekedar untuk menghabiskan dana untuk berseminar-ria, tetapi betul-betul untuk mencari solusinya? Dan, sungguh-sungguh mengupayakan agar solusi itu diindahkan oleh semua pihak.
Kasus korupsi, perijinan yang dijual-belikan, pendidikan yang dikomersilkan. Coba perhatikan iklan sekolah-sekolah anak gedongan…. Adalah kolam renang dan kantin yang lebih sering ditonjolkan. Bukan mutu pendidikan. Anak-anak TK dan SD kelas satu dijebloskan ke dalam ruang komputer…. Adakah kepedulian kita untuk memikirkan dampak dari penjeblosan seperti itu? Kita memenjarakan pikiran mereka dengan segala keliarannya. Malah memberi pemicu bagi keliaran pikiran mereka dengan menyajikan berbagai macam permainan yang tidak cerdas.
Pikiran yang sudah tidak liar, pikiran yang sudah terjinakkan – inilah Buddhi, inilah Pikiran yang Waras…. Kemudian, Buddhi inilah yang memperhalus rasa kita, hati kita – Hridaya kita. Sehingga, tidak ada penjahat, tidak ada kriminal, tidak ada pembunuh berdarah dingin seperti Amrozi, Muchlas dan Samudra di tengah masyarakat kita. Tidak ada partai politik, menteri, anggota DPR maupun MPR, pengacara dan agamawan yang membela kekerasan atas nama agama. Sehingga kita dapat membidani kelahiran Soekarno, Gandhi, Martin Luther…. bahkan, Buddha, Krishna, Isa, dan …….. seterusnya……
“Budaya” adalah gabungan dari dua kata Buddhi dan Hridaya. Membudayakan Manusia adalah tujuan dari pendidikan. “Seni” adalah bagian terpenting dari pendidikan.
Maka, sudahlah tepat bila Pesta Kesenian Bali menjadikan “Pengendalian Diri” atau “Citta Vriti Nirodha” sebagai slogannya… Sekarang, kita tinggal mensosialisasikan.
Untuk itu, tolong mbo’ situs webnya diperbaiki secepatnya, dalam 1-2 hari ini, supaya teman-teman di luar pun tahu apa yang sedang kita lakukan untuk membudayakan manusia Bali, manusia Indonesia, manusia Dunia….
Sekaligus, demi “Citta Vriti Nirodha” itu pula, tolong saudara-saudaraku, sobat dan temanku, warga se-Bali….. renungkanlah kata-kata ini yang terucap oleh Sekjen PBB Ban ki-Moon, “Kita tidak memiliki bumi ini, tetapi hanya meminjamnya dari anak-cucu kita.”
Semoga kita tidak mengkhianati amanat yang diberikan kepada kita. Semoga kita tidak mengembalikan pinjaman ini dalam keadaan rusak. Semoga…. Amin, Amen, Sadhu, Om Shanti….
*Aktivis Spiritual (http://www.anandkrishna.org/, http://www.aumkar.org/, http://www.californiabali.org/)