REPUBLIK bukan MIMPI
Radar Bali, Senin 3 Desember 2007
Kisah-kisah ini adalah tentang Republik kita, Republik Indonesia yang tercinta – bukan tentang Republik Mimpi di seberang sana…. Sebab itu, janganlah merasa heran bila kisah-kisah ini menusuk dada Anda dan membuat Anda sesak napas – karena kisah-kisah ini tentang diri kita sendiri, menyangkut batin kita sendiri.
Kita mulai dengan Generasi Ransel, khususnya mereka yang melakukan perjalanan dengan pesawat udara yang makin hari makin sempit saja. Maklum, para pemilik perusahaan penerbangan lebih mementingkan tempat duduk di banding dengan kenyamanan para penumpang.
Nah, para travelers dengan ransel ini – hampir semuanya tanpa kecuali – seolah tidak peduli dengan keberadaan siapa pun di belakang dan di samping mereka. Mereka tidak peduli bila ransel di belakang itu “menabrak” seorang atau membuat orang lain tidak nyaman berdiri dan berantre di belakangnya. Apalagi saat mengangkat tentengan lain untuk memasukkannya ke dalam laci di atas tempat duduk. Ransel di belakang yang masih menancap rapi itu sudah pasti bersentuhan dengan dada atau hidung seseorang. No problemo, tepuk tangan, si pembawa ransel tidak peduli. Yang ditabrak pun tidak, karena ia pun sama-sama membawa ransel.
Masih tentang penerbangan….
Pesawat terlambat lebih dari 1.5 jam, 90 menit, padahal lama penerbangan untuk rute itu barangkali kurang dari 60 menit. Tidak ada pengumuman, pun tidak seorang penumpang mengeluh. Malah ada yang bercekikikan: “Kalau tidak terlambat, namanya bukan Singa Air!” Kepasrahan total terhadap, bukan Kehendak Ilahi, tetapi Kecerobohan Maskapai. Tepuk tangan lagi, bangsa ini memang bangsa yang sabar.
Harga tiket sudah murah, maka tidak ada salahnya bila pelayanan maskapai yang dimaksud tergolong murahan pula.
Setelah lima belas menit berada dalam pesawat, terdengarlah suara kapten: “Sebenarnya kami sudah siap untuk lepas landas, tetapi karena padatnya lalu lintas, dan pesawat kami berada pada urutan ketiga, maka…….” Tunggu lagi, para penumpang mesti mengerti dan memahami kesulitan kapten. Sang Singa tidak perlu memahami kesulitan para penumpang.
Padahal, alasan sebenarnya bukanlah kepadatan lalu lintas – tetapi keterlambatan. Bila terbang tepat waktu, kepadatan itu tak akan terjadi. Tetapi, ya begitulah – namanya juga manusia.
Itu di atas, di udara – sekarang di darat:
Kesalahan pilot sudah terbukti, human error yang pernah dikhawatirkan oleh pihak asing ternyata betul – sanksi terhadap pilot apa? Keluarga mereka yang tewas atau luka karena kecelakaan pesawat yang disebabkan oleh human error pun tidak peduli. Barangkali, karena sudah dibayar ganti rugi…. Dapat dipahami….. Oh ya, apa iya?
Seorang wanita karier, dan berjasa terhadap pengembangan dan pemasaran produk-produk dalam negeri – saya sangat mengaguminya…… Tetapi, itu dulu. Ketika ia belum duduk dalam salah satu dewan terhormat di republik kita. Lain dulu, lain sekarang. Dulu, ia akan membela siapa saja yang dianggapnya tertindas, sekarang: “Masak kita dituntut terus untuk menyelesaikan kasus Munir….. Saya tanya sama Amerika Serikat, apakah mereka sudah menyelesaikan kasus Kennedy?”
Hmmmmm, janganlah melarang saya untuk kencing dalam celana, kamu juga masih kencing koq? Amerikat Serikat itu baru lahir kemarin dulu, ia masih bayi ingusan. Kau, wahai Srikandi, wahai Kartini, sudah beradab sejak ribuan tahun sebelum kelahiran Amerika Serikat. Ketika Timur Tengah masih hidup dalam kemah, kau sudah membangun istana. Ketika Barat masih biadab, kau sudah memiliki peradaban yang sangat tinggi. Lupa ya?
Apalagi ketika saya berbicara sedikit tentang “boss”-nya!
“Oh, jangan begitu…. bagaimana pun juga, dia boss saya, atasan saya…” Ia betul-betul menggunakan istilah “boss” dan “atasan”. Padahal yang disebut atasan itu hanyalah seorang ketua, dan dia adalah wakil ketua.
Sekarang, tentang “Hyang” disebut “boss”: “Ketika salah satu daerah menerapkan peraturan daerah berbasis syariat agama tertentu, maka ia mendatangi daerah itu dan memberi statement yang jelas mendukung. Ia lupa bila dirinya mewakili lembaga yang berurusan dengan seluruh anak bangsa, bukan dengan kelompok agama tertentu, apalagi dengan sebagian masyarakat yang mendukung peraturan-peraturan seperti itu. Tapi, kemudian ketika daerah lain menerapkan peraturan daerah berbasis syariat agama lain, maka ia kebakaran jenggot!”
Nah, ucapan saya “kebakaran jenggot” itu ternyata tidak berkenan di hatinya. Karena menyangkut “boss”-nya. Wanita sepuh itu tampak takut, wajahnya tidak mampu menyembunyikan kekhawatirannya. Sudah kaya-raya, dan memiliki perusahaan raksasa dengan cabang di luar negeri, masih juga takut, khawatir. Tanya kenapa? Karena kursi. Ia sangat menyayangi tempat duduknya, kedudukannya, di dewan yang terhormat itu.
Tapi, yang lebih lucu dari Republik bukan Mimpi adalah Kisah Roman kita dengan Fulusuddin, sebagaimana dikatakan oleh seorang Habib sepuh yang saya hormati. Kisah Roman ini sungguh menarik dan mendebarkan hati. Kemampuan kita untuk mencari cela supaya bisa bertemu dan bercumbuan dengan sang kekasih, Mr. Fulus, sungguh luar biasa.
Lihat saja bagaimana kita memanfaatkan Isu Perubahan Iklim yang merupakan Isu Moral, menjadi Isu Fulus. Konperensi di Bali tentang Perubahan Iklim (Desember 3-15) adalah bukti nyata, “Baik, gue siap melindungi hutan, berjanji untuk tidak merusak hutan – tapi loe mesti bayar!”
Tapi, itu cerita panjang….
Lain kali ya…… Kita masih sama-sama berada di Republik bukan Mimpi…… Sampai jumpa lagi!