DIAMBIL DARI MEDIA HINDU, HALAMAN 42-43, EDISI 170, APRIL 2018
DARI ANAND ASHRAM
Pancha Yajna – Kewajiban untuk Berbagi
Anand Krishna *
“These five types of yajnas have to be performed every day… There is no need to have elaborate arrangement for performing these yajnas.
“You would do well to remember that there is no greater gift than the gift of food to the hungry, there are no greater gods than one’s parents, there is no higher dharma than compassion, no more profitable acquisition than the company of the good, no worse enemy than anger, no worse disease than debt, no worse death than infamy, no higher merit than remembering the Lord.”
Sri Satya Sai Baba
Sathya sai Speaks Vol 19
Istilah Pancha Yajna atau Yagya tentunya sudah tidak asing bagi kita semua. Yang asing, atau lebih tepatnya yang belum tersimak selama ini, adalah bagaimana memaknainya di masa kini, bagaimana melakoni kelima jenis yajna, offering atau persembahan ini, yang umumnya dikaitkan dengan pengorbanan dan dalam bentuk seremoni atau ritual saja.
Sebelum mengulas laku-yajna atau yagya lebih lanjut, kita perhatikan dulu, apa kata Sang Sadguru, Sang Guru Sejati di atas – dalam terjemahan bebas….
“Kelima Jenis Yajna (=Persembahan) ini mesti dilakukan setiap hari… Untuk itu, tidak perlu ada pengaturan (=ritual) yang rumit.
“Ingatlah bahwa tiada pemberian melebihi pemberian makanan kepada orang yang kelaparan, tiada yang lebih mulia daripada kedua orang tua, tiada dharma yang lebih tinggi daripada welas-asih, tiada perolehan yang lebih menguntungkan daripada pergaulan yang baik, tiada musuh yang lebih jahat daripada amarah, tiada penyakit yang lebih parah daripada hutang, nama buruk lebih menyedihkan daripada kematian, tiada kebaikan yang lebih baik daripada mengingat Tuhan.”
Beliau Mengaitkan Laku Yajna atau Yagya dengan keseharian hidup, dengan nilai-nilai kemanusiaan. Yajna, Yagya, atau “Persembahan” pun dikaitkan dengan perilaku, bukan dengan ritual saja.
Kita memiliki konsep Desha, Kala dan Patra – Kondisi, Waktu, dan Kemampuan Pemeran – yang memberikan kita keleluasaan untuk sewaktu-waktu memaknai segala sesuatu yang terkait dengan kepercayaan kita, asal, nah ini penting, asal dalam kerangka besar Dharma – nilai luhur kebajikan.
Para Guru Kontemporer seperti Swami Dayananda Saraswati (1930-2015), Pendiri Arsha Vidya Gurukulam, dan juga para suci, para guru lainnya mengajak kita untuk ber-yajna demi kebaikan semua, demi kesejahteraan masyarakat…
Dan, dengan cara yang santun, tidak merusak, tidak melukai – sebab Ahimsa Paramo Dharma… Ahimsa adalah Dharma Utama. Ahimsa pun, sebagaimana dimaknai oleh Mahavira, Mahatma Gandhi, dan lainnya, bukan sekedar “tidak membunuh” – tapi, tidak melukai, tidak menyakiti, atau segala tindakan tanpa kekerasan.
Penggalan berikut dari petuah di atas, Dharma Himsa Tathaiva Cha – hanyalah membenarkan kekerasan untuk melindungi Dharma itu sendiri. Dan, Dharma bukanlah sekedar kepercayaan atau pun kewajiban, sebagaimana sering diterjemahkan, tetapi nilai-nilai luhur kemanusiaan dalam diri manusia.
Dengan Pemahaman Dharma seperti di atas, bagaimana pula para suci memaknai dan melakoni Pancha Yajna, saatnya kita simak bersama….
Berikut adalah saduran dari booklet dengan judul “Pancha Maha Yagnya – Living in Harmony” yang diterbitkan oleh Kalavardhini Study Group, Chennai, berdasarkan ajaran Swami Daya-nanda Saraswati dan Swami Paramarthananda Saraswati…. ditambah dengan coretan-coretan panjang penulis untuk memahami apa yang tersirat, bukan yang tersurat saja. Namun, sebelumnya, saya teringat sebuah cerita dari kumpulan Jataka yang mengisahkan kehidupan Siddhartha Gautama, sebelum beliau mencapai ke-buddha-an, kemudian dikenal dengan julukan Buddha, Ia yang Terjaga, Tercerahkan… Cerita ini juga digunakan sebagai adegan pembukaan dalam film Hollywood berjudul “The Little Buddha”:
Seekor Domba yang akan Disembelih, dikorbankan, atau apa sebutannya, tiba-tiba tertawa. Orang yang sudah siap untuk menyembelihnya terkejut!
Tawa hewan itu terasa sangat insani, sangat manusiawi. Maka, ia bertanya, “Kenapa kau tertawa? Sadarkah kau bahwa aku sudah siap untuk menyembelihmu?”
Masih juga tertawa, si domba yang akan dikorbankan itu menjawab, “Aku tertawa karena peran kita yang tertukar.”
“Maksudmu?”
“Dulu kau pernah menjadi domba, dan aku menyembelihmu. Sebagai konsekuensi dari perbuatan itu, sekarang aku menjadi domba, dan kau akan menyembelihku!”
Silakan mengartikan, memahami, memaknai, menghayati, dan menyimpulkan sendiri pesan dari cerita ini… Kembali pada pemahaman tentang Pancha Yajna:
Pertama adalah Deva Yajna… Pengertian Deva bukanlah sekedar para Dewa, Demigods atau apa sebutannya, yang berada dalam dimensi lain, sehingga bisa mengawasi kita, bisa melihat kita setiap saat; sementara kita yang berada dalam alam 3 dimensi tidak bisa melihat mereka, kecuali dapat memasuki dimensi mereka.
Deva juga merujuk pada Divya – bukan saja yang bersinar atau bercahaya, tetapi yang mulia. Deva Yajna dilakukan dengan menyadari kemuliaan yang ada dalam diri setiap makhluk, bukan sesama manusia saja. Bahkan, dalam setiap wujud kehidupan.
Ingat deklarasi Krishna dalam Bhagavad Gita, Percakapan 18, Sloka 61: īśvaraḥ sarva-bhūtānāṁ – Īśvara, Penguasa Alam Semesta, bersemayam (dalam diri) setiap makhluk.
Perhatikan! Pengertian Bhuta dalam sloka ini tidak merujuk pada butakala sebagaimana diartikan secara umum, dan dipahami sebagai wujud-wujud kehidupan yang rendah, termasuk “setan” dan sejenis.
Tapi sebagai “segala bentuk kehidupan.” Kita akan balik ke topik bhuta dan butakala ini, yang terkait denga Bhuta Yajna. Sementara, masih tentang Deva Yajna – Menyadari adanya kemuliaan dalam setiap dan segala wujud kehidupan, termasuk binatang, serangga, burung, ikan, bebatuan, gunung, pohon, tumbuh-tumbuhan, sungai, laut, dan sebagainya. Ini Deva Yajna.
Kita melakoninya dengan merubah cara pandang kita terhadap alam semesta, yang adalah Vishvarupa, Wujud Kosmis Sang Paramatma, Sang Kesadaran Agung, Hyang Maha Sadar, Hyang Sejati, Hyang Widhi.
Untuk itu, segala bentuk Pemujaan – pemujaan yang dilakukan secara tulus, sungguh-sungguh, dan bukan karena gengsi sampai memaksa diri untuk meminjam uang, menjual tanah, menggadaikan SK Pengangkatan/Promosi dan sebagainya – bisa membantu, dapat membantu dalam peningkatan kesadaran.
Demikian pula dengan perjalanan suci – mengunjungi tempat-tempat, di mana sudah terbentuk medan energi yang dapat menunjung kesadaran.
Menjalani Yoga secara utuh sebagai Lifestyle – bukan sekedar asana atau gerakan-gerakan, yang sekarang sudah diredusir menjadi pertunjukan, akrobat, bahkan tarian untuk hiburan belaka – semuanya dapat membantu.
Demikian pula denga japa (zikir), meditasi, dan lain sebagainya…..
Namun, semua itu mesti Dipahami sebagai sarana. Bukan tujuan akhir. Tujuan akhir Deva Yajna, sebagimana telah kita bahas sebelumnya, adalah menyadari kemuliaan yang ada dalam diri setiap makhluk, mengembangkan kemuliaan di dalam diri; dan, yang tidak kalah penting adalah berbagi kemuliaan.
Sudikah kita, maukah kita memulai dengan langkah kecil, yaitu memastikan bahwa setiap pura, setiap kuil, setiap candi, setiap mandir, setiap tempat ibadah; setiap ashram, pasraman, padepokan; kemudan setiap rumah, setiap tempat kerja, dan setiap ruang publik, termasuk sekolah, dan sebagainya menjadi ruang suci, dengan menyadari kehadiranNya di setiap tempat?!?
Dapatkah kita mengubah pola energi di semua tempat tersebut sehingga setiap orang yang berkunjung mendapatkan manfaatnya?!?
Caranya? Mudah – bebaskan setiap tempat tersebut dari asap rokok. Bebaskan setiap pekarangan dan pelataran, termasuk ruang yang digunakan untuk parkir – bebas dari asap rokok yang mencemari prana aliran kehidupan yang ada di dalam diri dan di sekitar kita?!?
Semoga langkah pertama dalam hal melakoni Deva Yajna ini mendatangkan anugerah, memberkati hidup kita semua, sehingga kita pun bisa menjadi anugerah, bisa menjadi berkah bagi diri kita sendiri, bagi keluarga kita, bagi masyarakat kita, bagi sesama warga bumi, dan wujud-wujud kehidupan lainnya di seantero alam. Tathastu, so be it, so it is, demikian adanya.
Catatan: Pendalaman tentang Pancha Yajna ini akan dilanjutkan dalam edisi berikut Media Hindu.
Anand Krishna, menulis lebih dari 170 judul buku dan Pendiri Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, www.anandashram.or.id, www.anandkrishna.org)
Sabda Sang Guru 3-1 Sabda Sang Guru 3-2