Sustainable Tourism (Radar Bali, Senin 26 Januari 2009)

Sustainable Tourism

Anand Krishna*
(Radar Bali, Senin 26 Januari 2009)

 

Belakang ini istilah “sustainable” sering digunakan. Pembangunan yang tidak sustainable, tidak bertahan dan tidak berkelanjutan, adalah pembangunan yang semu. Demikian pula dengan sistem perekonomian, politik, dan lain sebagainya. Maka, sudah layaknya kita pun berpikir tentang tourism yang sustainable.

Minggu lalu, saya diundang sebagai pembicara di forum pemandu wisata sedunia yang diselenggarakan di Bali. Jujur kata, bagi saya undangan itu penting sekali. Saya ingin berbagi pengalaman dengan para peserta, khususnya dengan para pemandu wisata dari negeri kita sendiri, dalam rangka mengembangkan sustainable tourism.

Sayangnya, hari itu lebih banyak peserta dari luar negeri yang hadir. Peserta dalam negeri dapat dihitung, pun diantaranya lebih banyak yang asal Bali. Tanya punya tanya, ternyata para pemandu wisata dari luar Bali justru memlilih untuk belanja dan makan-makan di Kuta dan Ubud. “Setelah acara pembukaan, sudah seperti itu,” seorang anggota panitia menjelaskan.

Pembukaan, kehadiran menteri, foto bersama… itu saja.
Kenapa saya mesti merasa aneh? Déjà vu, ini bukanlah sesuatu yang baru. Dulu saat konperensi bos-bos media sedunia pun sama. Peserta asing lengkap, peserta dalam negeri hanya hadir pada saat pembukaan dan penutupan. Indonesia tidak perlu digurui, “Kita lebih tahu dari bule-bule itu.” Oke, baik, selamat.

Mudah-mudahan.
Karena, keselamatan bukanlah takdir para pemalas dan mereka yang angkuh dan tidak mau belajar. God help us!

Mana bisa?
Karena, God Helps Those Who Help Themselves! Tuhan pun membantu mereka yang membantu diri sendiri.

Padahal, apa yang dibahas selama konperensi itu sungguh amat penting. Negara-negara di dunia sudah mulai memikirkan tourisme yang berkelanjutan, bertahan, dan tidak banyak terpengaruh oleh kondisi dunia. Adakah kita siap untuk hal itu? Adakah kita memikirkan hal itu?

Bapak diatas mengharapkan agar kita hanya menyampaikan apa yang “baik-baik” saja. Jangan mengkritisi, jangan membuka aib diri, sembunyikan noda-noda pada wajahmu dibalik olesan bedak yang tebal.

Salah, setidaknya demikian yang dikatakan oleh para leluhur bangsa ini. Oleh seorang Raja Magkunegaran misalnya, penulis Wedhatama dan banyak karya sastra lainnya. Orang yang tidak mau bercermin diri, adalah orang yang lemah. Ia tidak memiliki niat maupun kemampuan untuk berubah.

Tourisme yang bertahan adalah culture-based, eco-friendly, sesuatu yang berlandaskan pada budaya dan lingkungan. Kita, khususnya di Bali sudah sejak lama menggunakan kedua kata tersebut, dan barangkali kita pikir hal itu sudah terjadi.

Ternyata tidak.
Sekjen asosiasi pemandu wisata sedunia, Tuan Aladdin dari Mesir mengatakan kepada saya, bahwa tourisme di Bali 60% tergantung pada resor dan 40% tergantung pada budaya, bisnis dan lain sebagainya.

“Bagaimana dengan negeri Anda?” saya bertanya.

Dan, dengan bangga beliau pun menjawab bila tourisme di Mesir 80% tergantung pada budaya dan sejarah. Ya, ya, ya, beberapa tahun yang lalu, salah satu tempat wisata di negeri itu di bom. Dalam waktu yang singkat, para pelakunya ditahan dan dijatuhi hukuman. Usaha Pariwisata disana hampir tidak terpengaruh oleh kejadian itu. Hanya sebentar saja.

Tidak seperti di Bali.
Kita menderita selama bertahun-tahun. Dan, bukan hanya Bali. Sesungguhnya Bom Bali mempengaruhi seluruh bisnis pariwisata di Nusantara. Sekarang, alasannya menjadi jelas. Karena, pariwisata kita memang tergantung pada para wistawan yang 60% diantaranya tidak tertarik dengan budaya dan sejarah. Mereka hanya mau “jalan-jalan”. Dan, bila Bali tidak aman, maka masih banyak tempat lain yang aman.

Sehari sebelum menghadiri konperensi tersebut saya berada di Thailand. Saya pikir pariwisata disana pasti drop karena ketakstabilan politik. Ternyata saya salah. Airport mereka masih penuh dan ramai.

Mendarat di Soekarno Hatta dan kemudian Ngurah Rai, saya berdoa agar suatu ketika kita pun bisa seperti Thailand. Bicara tentang Thailand, tahu nama airport mereka yang baru? Padahal istilah itu, Suvarnabhumi atau Suvarnadvipa, bumi atau kepulauan emas sebelumnya lebih sering digunakan untuk kepulauan kita. Mereka memiliki rasa bangga terhadap sejarah dan budaya mereka. Adakah kita memiliki hal yang sama?

Saya mengritik para pemandu wisata di India. Belakang ini mereka lebih banyak memikirkan komisi. Bila para wisatawan masih saja memilih India, maka itu bukanlah karena lehebatan para tour operators dan para guides disana. Tetapi, karena kekayaan budaya mereka. Pun demikian dengan Cina, Mesir dan Arab Saudi. Mereka tidak membutuhkan tour operators yang hebat, karena mereka sudah memiliki situs-situs atau budaya yang menjual sendiri.

Adakah kita memiliki sesuatu yang dapat menjual sendiri?

Ya, dan barangkali jumlahnya tidak kurang dari negara-negara yang saya sebut diatas. Sayangnya, kita tidak pernah melakukan inventarisasi atas potensi kita sendiri.

Berapa banyak pemandu wisata kita yang tahu bila Borobudur bukanlah Buddhist Temple tapi sebuah Mandala? Berapa banyak yang tahu bila Candi Sukuh dan Candi Cetoh bukanlah Erotic Temples tapi Campuses for the Study of Tantric Sciences? Apa itu Mandala, dan apa itu Tantra? Kenapa Tantra disebut Science? Adakah kita memiliki literatur bagi para wisatawan asing yang tertarik untuk mendalaminya?

Adakah museum-museum kita siap untuk menunjang culture based tourism? Adakah para pemandu wisata kita siap untuk mejelaskan apa itu Shiva? Dewa, Tuhan, atau apa? Perusak atau apa? Saya pernah memperoleh penjelasan dari seorang pemandu wisata asal Bali, “Kalau dalam agama-agama lain Tuhan itu satu, maka dalam agama Hindu di Bali banyak dewa.” Apa maksudnya?

Lebih dari seribu tahun yang lalu, seorang sejarawan asal Arab, Al Beruni menulis bahwa umat Hindu percaya pada Tuhan yang satu adanya, sama seperti mereka di timur tengah.

Kondisi 60% resor ini parah, dan bila tidak segera diperbaiki, akan menghancurkan seluruh industri pariwisata di Bali. Saya melihat bahwa dari 40% sisanya pun, sesungguhnya lebih dari 20% adalah para pebisnis. Berarti, hanyalah 20% dari para wisatawan yang datang ke Bali sungguh menaruh perhatian terhadap budaya Bali. Ini bukanlah pariwisata yang sustainable. Kita tak akan bertahan menghadapi krisis apa pun, apalagi krisis berskala global seperti yang sedang melanda dunia saat ini.

Bali, berbenahlah, dan segera.
Kau mampu, hanyalah niatmu yang mesti diperbaiki.

*Aktivis Spiritual (http://www.anandkrishna.org, http://www.aumkar.org)