Ubud Writers Festival: “Pluralism and Religious Tolerance in Indonesia”

Ubud Writers Festival: “Pluralism and Religious Tolerance in Indonesia”

19 Oktober 2008, jam 13.00-14.30

 

Untuk kedua kalinya Bapak Anand Krishna diundang dalam event Ubud Writers Festival yang diadakan oleh Yayasan Saraswati Ubud. Bertempat di Indus Restaurant Ubud, tampil pula Guntur Romli – salah satu korban Tragedi Monas – penulis yang aktif dalam jurnal perempuan, dan Sadanand Dhume penulis India, tinggal di London, yang menulis buku berjudul “My Friend Fanatic”. Dimoderatori oleh Ibu Melani Budianta, seorang dosen Psikologi UI, suasana diskusi sangat hangat karena membahas topik yang sangat kontekstual: “Pluralism and Religious Tolerance in Indonesia”.

Dalam kesempatan pertama Mas Guntur Romli berkesempatan berbagi pengalamannya saat mengadakan acara perayaan lahirnya Pancasila pada 1 Juni 2008 lalu bersama teman-teman aliansi, yang berasal dari berbagai organisasi dan berbagai agama. Saat itu tanpa diduga-duga sekelompok orang, kurang lebih 200-an orang, bersenjatakan bambu runcing berisi paku menghantam para aktivis yang akan memulai pawai tersebut. Truk yang berisi sound system dan peralatan musik dirusak dan dibakar habis. Para aktivis baik laki-laki, perempuan dan anak-anak dipukuli tanpa alasan. Spanduk dirobek-robek dan dari pihak aliansi telah jatuh kurang lebih 70-an korban luka-luka baik ringan maupun berat. Hal ini menunjukkan adanya sekelompok orang yang mengatas namakan agama tertentu telah berperilaku tidak manusiawi atau inhuman. Mas Guntur Romli meminta kepada masyarakat International yang ada saat itu untuk menyuarakan bahwa kekerasan harus dihentikan apabila tidak ingin kekerasan juga terjadi di negara mereka.

Dalam kesempatan berikutnya Sadanand Dhume menceritakan awal mulanya dia menulis buku berjudul My Friend Fanatic, yang diawali perkenalannya dengan wartawan saat terjadi Tragedi Bom Bali di Kuta yang menewaskan hampir 300-an orang. Sadanand Dhume mengatakan bahwa seharusnya politik dan agama tidak seharusnya menjadi satu. Dan Indonesia harus menjadi optimistik dalam hal ini agar radikalisme tidak tumbuh berkembang di Indonesia.

Bapak Anand Krishna mengatakan kita dihadapkan pada masalah yang sangat kompleks, begitu pula Singapore. Orang-orang tidak bisa tidur nyenyak karena salah satu Narapidana radikal berkeliaran bebas. Ini berarti jaringannya sangat kuat dan ada jaringan yang hidup di Singapore hingga bisa menyembunyikan narapidana tanpa ketahuan. Keadaan lain yang mencerminkan betapa jaringan ini di biarkan di Indonesia adalah Ba‘asir ditengok saat dipenjara oleh pejabat kita, sedangkan para korban Monas yang merayakan hari lahirnya Pancasila tak satupun ditengok.

Kepedulian Bapak Anand Krishna akan hal ini, tak lain adalah karena pengalaman hidup ayahnya yang tidak ingin diulangi dan dialami oleh bangsa Indonesia. Pengalaman hidup saat India terpecah menjadi India dan Pakistan merupakan pengalaman yang membuat keluarga Bapak Anand Krishna terpecah belah karena perbedaan agama. Dan mengapa Ayah dari Bapak Anand Krishna memilih Indonesia sebagai negara utama untuk ditinggali saat diberikan pilihan lain seperti Inggris, Pakistan dan India? Maka jawaban beliau tegas. Itu karena Bung Karno, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika. Tidak ada yang lain! Bapak Anand Krishna pun saat kecil sempat protes terhadap keputusan orang tuannya ini mengapa tidak memilih menjadi warga negara Inggris saja. Tetapi setelah dewasa baru menyadari keputusan ayahnya tersebut.

Pancasila dalam penjabarannya memiliki 5 butir sila dimana sila pertama adalah Religiousitas yaitu Ketuhanan. Berbeda dengan “In God We Trus” yang dianut oleh piagam kemerdekaan Amerika, religiousitas dalam Pancasila bersifat Ketuhanan. Dan sifat ini dimiliki oleh setiap agama yang hidup dan berkembang di Indonesia (in Godliness). Hal lain yang Bapak Anand Krishna lihat adalah bahwa saat ini kefanatikan terhadap agama-agama tertentu mulai muncul. Tentu hal ini akan menimbulkan reaksi atau timbal balik yang tidak kalah sengitnya apabila dibiarkan saja. Semakin hari kita semakin terkotak-kotakkan dan apabila hal ini berakumulasi tentu dapat memicu hal-hal yang tidak kita inginkan bersama.

Hal lain yang disoroti oleh Bapak Anand Krishna adalah investor-investor Timur Tengah yang membawa paham dan Ideologi Wahabisme. Dimana para Investor ini menanamkan modalnya, maka tidak ketinggalan paham dan ideologi datang. Hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja namun juga di setiap negara. Bali harus menjadi tempat yang netral untuk berdialog bagi siapapun dan dari negara manapun dari seluruh dunia tanpa ada rasa was-was. Tentu kita tidak memerangi Islam namun paham Wahabi yang penuh kekerasan ini yang harus kita waspadai.

Guntur Romli menambahkan bahwa saat ini ceramah-ceramah agama sudah berisi tentang kekerasan dan penyebaran kebencian. Dan di Indonesia tidak ada peraturan yang mengatur ceramah-ceramah agama di mesjid-mesjid dalam konteks isi atau materi dari wacana. Dari pihak kepolisian pun tidak ada kontrol yang jelas terhadap hal ini. Bahkan di pengadilan negeri pun, saat diadili, para pendukung kekerasan sering melakukan pembunuhan karakter terhadap saksi baik dengan cara di gertak, dijambak dan lain-lainya. Hal ini harus segera dicegah sedini mungkin apabila kita dalam kehidupan berbangsa tidak ingin menuai badai berkepanjangan.

Tidak lupa pula Bapak Anand Krishna mengajak para penulis dan masyarakat international dari seluruh dunia yang hadir pada siang itu untuk menandatangani petisi bagi Bali. Petisi untuk menyelamatkan Bali dari lapangan golf yang terus menerus dibangun di Bali, karena pembangunan ini akan merusak taman sari dan budaya Bali secara keseluruhan.

Dilaporkan oleh Chicha.